Sore itu, ketika aku berjalan hendak mencari makan untuk mengisi perutku yang kosong ini, kulihat seorang anak kecil yang kira-kira berumur 5 tahun tengah menuntun Ayahnya yang buta. Akupu tertegun. Apa iya anak sekecil itu sanggup menuntun Ayahnya hingga ke tujuan yang diinginkan?
Anak kecil itupun berjalan mantap tanpa ragu, tanpa malu. Yahh.. Anak yang masih polos dan lugu ini mana bisa mengerti tatapan iba dari orang-orang sekitar? yang dia tahu, Ayahnya harus tiba dengan selamat sampai tujuan bagaimanapun caranya. Orang-orang sekitarpun membantu ia ketika Ayahnya tidak sengaja menabrak ujung motor yang sedang diparkir. Suara-suara menggema dan berteriak "Awas pak, di depan ada motor. Berhenti sebentar dulu, Pak." Ayah dan anak itu berhenti menunggu perintah selanjutnya dari tukang parkir. Setelah dirasa aman, tukang parkir pun kemudian menuntun mereka keluar dari parkiran ke sisi jalan yang lebih aman.
Aku terus memperhatikan mereka dari warung bakso seberang. Kulihat anak itu tetap berjalan tanpa henti dan tanpa lelah menggandeng ayahnya yang buta. Sekilas aku bertanya di mana isterinya? Kenapa bukan dia yang memegang tangan bapak itu? Apa dia tidak merasa kasian dan takut kalau terjadi apa-apa terhadap suami dan anaknya? Aku menyeruput es teh ku kembali.
***
"Mas, biasa yaa. Jus strawberry-nya satu, jus sirsaknya satu. Dua-duanya gak pake susu sama gulanya dikit aja".
"Iya, mba."
Aku kembali memainkan gadgetku sambil menunggu pesananku dibuatkan. Ahhh.. sore ini ramai sekali. Kebetulan malam ini malam minggu di mana banyak sekali sepasang burung dara akan melebarkan sayapnya untuk mencicipi kenikmatan dan suasana hangat di kota pelajar ini. Aku melihat sepasang muda-mudi berjalan sambil bergandengan tangan, tertawa ceria sekali seakan-akan tidak ada masalah dalam kehidupan mudanya. Mungkin mereka sedang tidak bertengkar? atau mungkin kekasihnya baru saja membelikan sesuatu? atau mungkin saja mereka baru "jadian". Sudahlah, apa peduliku?
Kembali aku melihat jalanan yang penuh dengan kendaraan bermotor. Banyak kendaraan dengan plat bernomor luar Jogja sedang berseliweran ke sana ke mari. Ketika sedang menghitung sudah berapa banyak mobil berwarna putih yang lewat, kebiasaan kecilku yang susah dihilangkan jika aku sedang tidak mengerjakan apapun, makhluk kecil itu lewat di depanku sambil menggandeng ayahnya. Langkahnya seperti kemarin, terlihat mantap dan tidak ada keraguan. Makhluk cantik ini tidak peduli siapa yang sedang berjalan atau berdiri di depannya. Dengan tegas ia berkata "Permisi pak, permisi bu, permisiiiii..." agar orang-orang itu mau memberikan jalan kepada dia dan ayahnya.
"Mas, kenal anak kecil itu?"
"Yang mana mba?"
"Itu, anak kecil yang tadi jalan sama bapaknya yang buta."
"Ohhh, si Nina. Ya mba, saya kenal. Kenapa mba?"
"Gak apa-apa, mas. Dia tinggal di dekat sini?"
"Iya mba, dia tinggal di gang seberang itu. Tiap sore dia selalu nemenin bapaknya berjalan kaki."
"Setiap sore ya mas?"
"Iya mba."
Aku pun mengangguk mendengar penjelasan dari penjual jus langgananku itu. Kembali aku menatap jalanan namun dengan pikiran yang sudah tidak lagi berada di tempatnya. Kasian anak itu, masih kecil tapi harus menanggung beban yang begitu berat. Apa yang harus dia lakukan bilamana ayahnya menderita sesuatu? atau, bilamana ayahnya kecelakaan? Bisakah tangan kecil itu tetap menuntunnya ke mana ayahnya ingin pergi?
"Mas, kenapa bukan ibunya Nina yang nemenin ayahnya? atau saudaranya yang lebih tua?"
"Ibunya udh meninggal mba. Nina anak tunggal." Mulutku langsung membentuk O kecil begitu mendengar berita tersebut. Jadi ini alasannya kenapa hanya Nina yang bisa menemani ayahnya berjalan di setiap sore.
"Ini mba jusnya."
"Udah mas? Berapa semuanya?"
"Dua belas ribu, mba."
"Setiap sore ya mas?"
"Iya mba."
Aku pun mengangguk mendengar penjelasan dari penjual jus langgananku itu. Kembali aku menatap jalanan namun dengan pikiran yang sudah tidak lagi berada di tempatnya. Kasian anak itu, masih kecil tapi harus menanggung beban yang begitu berat. Apa yang harus dia lakukan bilamana ayahnya menderita sesuatu? atau, bilamana ayahnya kecelakaan? Bisakah tangan kecil itu tetap menuntunnya ke mana ayahnya ingin pergi?
"Mas, kenapa bukan ibunya Nina yang nemenin ayahnya? atau saudaranya yang lebih tua?"
"Ibunya udh meninggal mba. Nina anak tunggal." Mulutku langsung membentuk O kecil begitu mendengar berita tersebut. Jadi ini alasannya kenapa hanya Nina yang bisa menemani ayahnya berjalan di setiap sore.
"Ini mba jusnya."
"Udah mas? Berapa semuanya?"
"Dua belas ribu, mba."
***
"Wahhh.. ke mana aja mba? Udah hampir dua minggu mba gak ke sini. Kirain udah pindah langganan." Sambut penjual jus langgananku begitu aku memarkir motor di depan kereta jusnya yang kecil itu. Aku tertawa kecil mendengar ocehannya. Ya, aku memang pelanggan tetap di tempat ini karena selain penjualnya ramah, jusnya juga sangat enak ketika diminum.
"Hahaha.. iya nih mas, selama satu minggu kemarin, saya pulang kampung. Baru aja nyampe di Jogja Selasa kemarin, kerjaan udah numpuk banyak. Jadi saya terpaksa nglembur. Biasa ya mas." Sang penjual sudah sangat hafal dengan pesananku. Aku pun menarik kursi kecil di belakang mas penjual lalu duduk di samping kiri kereta jus sambil melihat jalanan sore yang sedang ramai. Tapi, ada satu hal yang menarik perhatianku.
"Eh mas, bukannya jam-jam segini Nina sering lewat sama bapaknya?" Tidak ada jawaban dan aku pun menoleh ke arah mas penjual. Raut mukanya berubah menjadi sedih.
"Mas?"
"Bapaknya Nina meninggal dua hari yang lalu mba. Kecelakaan, ditabrak motor." Aku terkejut mendengar cerita darinya. Siapa yang begitu tega menabrak seorang buta yang lemah?
"Critanya gimana mas sampe bisa ditabrak gitu? Nina gak apa-apa kan?"
"Waktu itu, Pak Gusti, ayahnya Nina, mau nyebrang tapi yaahh.. namanya orang buta mba dan selama ini kan yang nuntun si Nina, jadi pak Gusti kurang hati-hati. Di sekitarnya waktu itu juga gak ada yang bisa nolongin. Dari sisi yang berlawanan, ada orang bawa motor ngebut banget. Karena pak Gusti nyebrang tiba-tiba, orang itu gak sempat nginjak rem. Gitu mba ceritanya." Mas penjual kembali membuatkan pesananku.
Kepulanganku sore itu di kota pelajar yang tercinta ini, ternyata disambut oleh cerita yang penuh dengan pilu dan kesedihan. Di mana wahai kau, Nina? Apa yang kau rasakan saat ini? Orang tua tak lagi ada untukmu. Lalu kau bersama siapa sekarang? Bagaimana nasibmu? Sungguh! Pikiran ini menggangguku. Kini, tak akan ada lagi tangan kecil yang menuntun ayahnya di setiap sore melewati jalanan yang penuh dengan manusia dan kendaraan bermotor. Kini, tangan kecil yang menuntun itu haruslah siap menuntun kehidupannya sendiri. Semoga kau siap menghadapi sulitnya jalanan kehidupan ini.
***