Friday, June 20, 2014

Nina

            Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya. Lagi-lagi Nina memandang kesal foto kekasihnya. Sudah tiga hari Virza tidak menghubunginya. Sebagai seorang cewek, tentunya banyak perasaan negatif yang malang melintang di pikiran dan hatinya. Bisa saja kan saat ini Virza tengah berduaan dengan cewek lain sambil menikmati dua cangkir cokelat panas, atau menikmati sofa yang empuk dan hangat, atau bisa saja sedang menikmati keindahan alam Bogor. Buru-buru Nina menggeleng keras kepalanya, mengusir segala kegalauan yang hinggap di benaknya.
            “Kamu gak kangen aku, ya? Bisa-bisanya tiga hari ini kamu nyuekin aku.” Nina mendesah berat sambil mengelus foto Virza. Tubuhnya yang dibalut selimut putih perlahan bergetar. Pipinya yang merah perlahan basah oleh air mata. Siapa sih yang tidak sedih ditinggal cowoknya, bahkan tak ada kabar sekalipun?
            “Susahnya apa sih hubungin aku? Aku telepon, hapemu mati. Nanya temen-temenmu, gak ada yang tau. Trus aku harus gimana?” Nina menundukkan kepala di atas kedua lututnya. Hari-hari terasa berat buat dijalanin. Biasanya ada yang ngucapin selamat pagi, kini bahkan untuk selamat makan pun belum terdengar lagi.

YY

            “Kalo aku ngelarang kamu pergi, pasti kamu bakal tetap pergi kan?” Nina menatap Virza dengan pandangan nanar.
            Virza tersenyum lalu meraih tangan Nina. “Aku kan di sana kerja. Gak mungkin aku bakal nglirik cewek lain. Aku nglakuin ini buat masa depan kita.” Ia mengangkat salah satu tangannya untuk merapikan poni Nina yang menutupi hampir sebagian matanya.
            Buat yang suka berteori, hubungan jarak jauh gampang buat dijalanin. Saat ini kita hidup di jaman serba modern, bukan lagi jaman purba. Semua serba ada dan gak mustahil lagi. Mungkin suatu saat di masa depan akan tercipta sapu terbang yang bukan saja ada di Harry Potter atau Hansel and Gretel. Yeah, satu langkah untuk menghemat bahan bakar dan juga biaya. Intinya, menjalani hubungan jarak jauh bukanlah suatu masalah besar bagi pasangan. Komunikasi yang sering menjadi masalah pun saat ini bisa diatasi melalui Skype, Facebook, Twitter, telepon, atau apa pun itu. Sedangkan untuk yang gak suka dengerin teori, menjalani hubungan jarak jauh itu adalah hal yang sulit. Emang bener sih jaman ini serba modern, tapi komitmen itu adalah hal yang paling mendasar dalam suatu hubungan. Kalau satunya udah gak bisa memegang komitmen, lantas apa masih fine, fine aja buat dijalanin? Kalau pengen nyiksa batin trus, sih, silakan saja.
            Hal ini yang dialami Nina saat ini. Dia harus ngerelain Virza yang sebentar lagi akan hijrah ke Ibu Kota untuk mencari sesuap nasi. Nina yakin dirinya setia, bisa menjaga komitmen, tapi bagaimana dengan Virza? Cowok ini dikenal sebagai seorang playboy di kampus. Entah bagaimana, dia menjatuhkan hatinya untuk Nina, seorang gadis yang memang cantik, tapi sama sekali tidak masuk dalam daftar target perburuan para playboy. Nina khawatir kalau-kalau Virza sampai jatuh hati pada seorang gadis Ibu Kota dan mengingkari semua janji yang sudah disepakati bersama. Jujur ia belum atau sama sekali tidak siap untuk itu. Ia terlampau menyayangi Virza.
            “Percaya sama aku, aku gak bakal macam-macam. Kamu bisa ke Jakarta ngunjungin aku atau kalo libur, aku bakal balik Jogja buat jenguk kamu.” Virza mengusap pipi Nina dengan telunjuknya kemudian mengecup bibirnya sekilas. Kalau sudah begini, hati cewek mana yang gak akan terenyuh? Termasuk Nina.
            Nina hanya mengangguk pelan, tapi dalam hati perasaan khawatir itu mulai tumbuh sedikit demi sedikit. Entah bagaimana, perasaan takut akan kehilangan mengakar tanpa Nina sadari.

YY

            “Virza masih belum hubungin kamu juga?” tanya Viola, sahabat Nina, lalu menyeruput strawberry smoothies-nya. Nina hanya mengangkat bahunya sambil menyuapi mulutnya dengan sesendok original yoghurt.
            Saat itu hari Sabtu. Bukan jatah Viola maupun Nina untuk bekerja ekstra keras mengumpulkan pundi-pundi. Mereka hanya manusia dan rehat sejenak itu penting kalau otakmu tidak ingin sekarat saat ini juga.
            Salah satu pusat perbelanjaan di kota Jogja cukup ramai saat ini. Selain karena hari ini ‘tanggal muda’, juga harinya pasangan muda-mudi memadu kasih. Oke, jujur saja Nina merasa iri jika melihat pasangan yang sedang berjalan mesra. Huftt, kalau saja Virza tidak bekerja di Jakarta, mungkin saat ini ia bisa menggandeng tangannya dan menghabiskan malam minggunya dengan tenang. Tidak seperti sekarang ini. Total sudah empat hari Virza tidak menghubunginya. Sebenarnya anak itu kenapa sih? Nggak ada kabar, tiba-tiba hilang kontak.
            “Kamu gak capek, Nin, jalanin hubungan kayak gini? Bukannya nakut-nakutin atau gak dukung hubunganmu sama Virza, tapi kamu tau sendiri kan orangnya kayak gimana. Aku hanya gak mau kamu disakitin.” Viola memasang tampang serius.
            “Kamu tau Anto kan? Dia gak apa-apa tuh sama Dinda. Hubungan mereka baik-baik aja walaupun Anto dulunya hampir mirip sama Virza, playboy kelas kakap.”
            “Yaaa, itu kan Anto, Nin, bukan Virza. Gak ada yang bilang Virza gak bisa berubah. Dia pasti bisa berubah, tapi kan kita gak tau kapan. Jangan terlalu sayang seratus persen, bisa-bisa cuma sakit yang kamu dapat kalo kenyataannya gak sesuai harapanmu.”
            Nina meletakkan cup original yoghurt-nya dengan cukup kasar. “Ahh, udahlah, Vi. Omongan kamu cuma bikin aku sama Virza berantem. Kamu mau aku punya pikiran buruk tentang dia dan itu jadi alasan buat aku terus marah-marah sama dia? Iya?”
            Viola melotot, gak tahu kenapa bisa jadi begini. Niat awalnya cuma ingin ngasih saran aja buat Nina, tapi kenapa Nina malah jadi nyolot begini? “Bukan, Nin, bukan. Aku gak ada niat buat bikin kamu sama Virzha berantem. Aku ngasi masukan aja. Kalo kamu gak suka, ya, udah. Gak usah pake marah-marah juga. Dicuekin aja aku gak apa-apa, kok.” Kali ini Viola berniat mengunci rapat-rapat bibirnya, takut salah bicara lagi.
            “Sorry.” Hanya kata itu yang terucap dari bibir Nina. Kembali ia memasukkan satu sendok yoghurt yang dinginnya kali ini serasa melukai tenggorokannya.

YY

            Nina memberhentikan motor matic-nya di depan sebuah gedung tua yang tampaknya sudah berumur puluhan tahun. Terlihat cukup banyak orang yang berhamburan ke sana kemari. Ada yang membawa banyak buku serta tas punggung yang tampaknya cukup berat, ada yang datang dengan dandanan heboh dari kepala hingga ujung kaki, dan ada juga yang datang dengan pakaian ala kadarnya, kemeja kotak-kotak yang menutupi kaos putih polos di dalamnya.
            Sejenak Nina tersenyum. Gedung ini, kampus ini, adalah tempat pertama kalinya Nina bertemu Virza. Virza yang dulunya masih memiliki kekasih dan Nina yang sama sekali tidak peduli akan kehadirannya. Namun, entah bagaimana, Virza diam-diam mengamati sosok Nina walaupun saat itu ia sedang menjalin hubungan dengan Amel, kekasih yang sudah dipacarinya selama empat tahun. Sampai suatu hari Virza mencoba mendekati Nina dan mengajaknya ngobrol. Sudah tentu terbesit sedikit rasa penasaran dalam hatinya untuk mengenal sosok Nina lebih jauh. Sayang saat itu Nina sedang terbuai dengan kakak kelasnya yang bisa dibilang tampan juga. Jadi, ia sama sekali tidak menaruh rasa penasaran yang cukup besar untuk Virza.
            Hubungan mereka sebelum akhirnya mengikrarkan kata jadian terbilang berjalan tidak terlalu mulus. Di saat Nina akhirnya ingin mengenal Virza lebih jauh lagi, ada Rina di antara mereka. Rina memasuki kehidupan Virza dan menawarkan secangkir cinta untuknya. Virza yang nggak tahan kalo nggak pacaran, akhirnya menerima hati Rina walaupun beberapa bulan kemudian hubungan mereka kandas. Sebaliknya, di saat Virza ingin kembali mendekati Nina, sudah ada sosok Ryan yang menaungi hatinya. Lagi-lagi sang cinta sepertinya tengah mempermainkan mereka. Hingga suatu hari hubungan Ryan dan Nina kandas di tengah jalan dan Virza tanpa permisi mulai bermain-main dengan hati Nina.
            Nina menolehkan kepalanya ke sudut kiri. Ada sebuah pohon besar yang cukup rindang tumbuh di sana. Kenangan itu muncul begitu saja. Nina seolah-olah melihat Virza yang sedang menungguinya di bawah pohon dan beberapa saat kemudian sosok Nina yang tengah memakai jaket jeans berjalan tergopoh-gopoh sambil membawa kamus yang cukup besar. Virza tersenyum lalu menyambutnya dengan kecupan kecil di kening, kemudian mengambil alih kamus itu dari tangan Nina. Ah, kenangan yang sangat manis. Waktu ternyata berjalan dengan cukup cepat saat ini.
            Nina kembali menyalakan motornya dan melaju dengan kecepatan yang tidak terlalu tinggi. Perlahan pipinya kembali basah. Berapa lama lagi dia harus menahan ini semua?

YY

            Kring! Kring!
            “Kamu ke mana aja selama ini? Kenapa baru sekarang nelpon?” Tanpa basa-basi, Nina segera memberondongnya dengan pertanyaan begitu melihat nama Virza tertera di layar ponselnya.
            “Maaf, ya, Sayang. Ponsel aku rusak, jadi harus nginap selama tiga hari di tempat servis.” Suara Virza tetap terdengar lembut di ujung sana.
            Nina menarik napas panjang. “Beneran karena rusak? Kamu gak lagi boongin aku, kan?”
            “Hahaha. Ngapain aku boongin kamu? Emang ponselku rusak. Aku baru ngambil tadi sore pas pulang kerja. Maaf, ya, Sayang. I love you.” Virza mengeluarkan jurus andalannya. Besar kemungkinan Nina akan memaafkannya jika kata-kata sakti ini keluar dari mulutnya, dan memang benar. Seutas senyum sedang tersungging manis di bibirnya yang merah.
            “Yang, sabtu besok aku boleh ngunjungin kamu ke Jakarta? Boleh, ya? Aku kangen banget sama kamu.”
            “Sabtu? Kayaknya aku lembur. Takutnya aku gak bisa nemenin kamu jalan-jalan.” Virzha terdengar sedikit gelagapan.
            “Yaahh, tapi apa susahnya sih ngluangin waktu sedikit aja buat ketemu aku? Kamu gak kangen sama aku? Apa jangan-jangan udah ada cewek lain di sana jadi kamu gak mau aku ke Jakarta?” Napas Nina tampak memburu.
            “Enggak, bukan gitu, Sayang. Aku bener-bener lembur. Kamu harus percaya sama aku kalo aku gak punya cewek lain di sini selain kamu.”
            Jauh di dalam lubuk hati Nina, dia ingin memercayai kata-kata Virza. Namun, entah kenapa, kata-kata itu seperti tameng untuk menutupi keburukan Virza. Juga terdengar seperti sebuah larangan secara tidak langsung kalau Nina nggak boleh ke Jakarta.
            “Aku mau ke Jakarta, Za.”
            “Ya, sudah kalau begitu. Nanti aku coba ngomong sama bos aku. Moga aja dia ngijinin.”
            “Thanks.”
            Percakapan yang berlangsung sekitar sepuluh menit itu kemudian terputus dan menyisakan begitu banyak tanya di benak Nina.

YY

            Pukul sembilan pagi Nina sudah duduk manis di ruang tunggu Stasiun Tugu, padahal keretanya baru akan berangkat pukul dua belas siang. Tampaknya dia sangat bersemangat untuk menemui Virza. Seminggu tidak dihubungi dan kali ini bisa mengunjunginya di Jakarta, tentu saja tidak akan disia-siakan Nina.

            Yang, ak brangkt k jkt’y sma tmn cowokku.
            Dy udh pny istri, kok.
            Jd, qta ga mungkin macem2 J

            Sent to:
            Virza

            Sepuluh, dua puluh, tiga puluh menit sudah berlalu, tapi belum ada satu balasan pun dari Virzha. Nina hanya mengedikkan bahu, ya, sudah, mungkin dia lagi sibuk. Lagi-lagi senyum kecil sudah terparkir manis di bibirnya. Pertemuannya dengan Virza sungguh membuatnya tidak bisa tidur. Ia sibuk memikirkan baju apa yang pantas dikenakan supaya terlihat lebih cantik di mata Virza. Apakah harus dandan, atau beli sepatu baru, atau mungkin tas baru? Hahaha. Padalah cuma mau ketemu Virza, tapi malah seheboh ini, batin Nina.
            “Hei, udah lama kamu nunggunya?” sapa Dhani, teman sekantor Nina. Ya, dia ini yang akan menjadi teman di sepanjang perjalanan Nina menuju Jakarta. Kebetulan istrinya juga bekerja di Jakarta dan mau gak mau keduanya harus bergiliran untuk saling mengunjungi.
            “Hahaha. Iya, nih. Aku udah di sini dari jam sembilan tadi.”
            Ekspresi kaget Dhani tampak jelas di wajahnya. “Kamu ngapain di sini dari jam sembilan? Keretanya kan baru berangkat jam dua belas.”
            Nina hanya mengedikkan bahunya lalu tertawa renyah.
            “Cieehh, yang nggak sabar pengen liat cowoknya. Makanya ngetem di stasiun dari jam sembilan. Hahaha.”
            “Bisa aja kamu, Mas. Hahaha.”

YY

            “Besok jadi, kan, kita ketemuan?”
            “Jadi, kok,” jawab Virza pendek.
            “Ya, udah, ketemuan di Blok M jam sepuluh, ya.”
            “Lho, kok, jam sepuluh? Aku masih lembur. Jam dua aja, ya, Sayang.”
            “Ya, udah, deh, terserah kamu aja.” Nada kecewa terdengar cukup jelas dari suara Nina. Hanya besok waktu yang dia miliki untuk bisa bertemu Virza. Sisanya dia harus kembali ke Jogja dan Virza tidak mungkin membolos dari pekerjaannya hanya untuk menemani Nina menghabiskan liburannya di Ibu Kota.
            “Maaf, ya, Sayang. Tapi aku janji bakal datang tepat waktu, kok.”
            “Iya.”
            Beberapa saat kemudian telepon terputus. Nina menarik napas berat sambil mendekap gulingnya. Benar-benar membosankan. Di saat matanya masih terbuka lebar dan rasa kantuk belum memilih untuk bersarang dalam dirinya, Eka, sepupu ceweknya, sudah tidur. Padahal, dia ingin sedikit saja menuangkan rasa kesalnya pada Eka. Sempat terpikir untuk menelepon Viola, tapi rasanya tidak mungkin. Kemarin mereka sempat beradu mulut soal Virza dan meneleponnya hanya untuk curhat tentu sangat tidak mengenakkan.
            Semoga saja apa yang dikatakan Viola nggak bener. Virza cowok baik, kok. Iya, dia baik. Perlahan Nina mencoba untuk memejamkan matanya dan berusaha memikirkan yang baik tentang Virza. Ia ingin penampilannya benar-benar fresh saat bertemu Virza besok.

YY

            Ini sudah yang kesepuluh kalinya Nina mencoba menghubungi Virza dan lagi-lagi tidak ada jawaban yang terdengar di ujung sana. Virza sendiri yang bilang akan menemuinya jam dua, tapi ini sudah jam empat dan batang hidungnya belum juga tampak. Kesal, marah, sebal, bercampur aduk menjadi satu. Nina tahu Jakarta itu identik sama macet, tapi bukan berarti Virza mengacuhkan teleponnya begitu saja.
            Nina mengecek BBM-nya. Tanda R yang berarti Read terpampang begitu jelas di ruang chat­­-nya bersama Virza, tapi tetap saja tak ada balasan darinya. Ke mana, sih, anak ini? batin Nina kesal lalu mendudukkan tubuhnya di sebuah bangku yang memang sengaja disediakan pengelola mal agar pengunjung bisa beristirahat sejenak. Sekali lagi Nina mencoba menghubungi Virza. Namun, tetap saja hanya nada terhubung yang terdengar.
            Beberapa saat kemudian sesosok pria berpostur besar, tinggi, dan tegap melangkah masuk area mal dan menuju sebuah bangku tempat Nina saat ini duduk.
            “Maaf, lama banget, Yang. Kejebak macet dan bosku baru ngijinin jam satu tadi. Maaf, ya.”
            Nina melihat Virza dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ada sesuatu yang tampak ganjil di sini.
            “Kok kamu pake kaos? Bukannya kantormu gak ngebolehin pake kaos, ya. Aku masih ingat saat kamu nyuruh aku pake kemeja waktu mau ngunjungin kantormu. Katanya aku harus rapi. Kalo gak, gak bakalan dibolehin masuk.” Nina mengerutkan keningnya.
            Virza berjalan ke samping Nina lalu duduk. “Kamu, kan, orang luar, jadi harus rapi, sedangkan aku orang dalam. Jadi, gak apa-apa aku pake kaos. Lagian, kan, hari ini sabtu jadi pake kaos pun gak masalah.” Ia tersenyum manis.
            “Oh, gitu, ya?” Nina mengangguk-anggukkan kepalanya dengan pelan. Walaupun penjelasan Virza sedikit masuk akal, tetap saja ada yang nggak beres. Nina nggak mungkin segampang itu menerima kata-kata Virza.
Secara tidak sengaja mata Nina menangkap sebuah objek yang tersimpan rapi di dalam tas. “Kok bawa topi? Di dalam kantor ada matahari, ya, sampai-sampai harus pake topi segala.” Oke, kata-kata Nina kali ini terdengar cukup sinis. Sepertinya ini adalah hasil akumulasi dari perasaan marahnya yang menunggu Virza berjam-jam dan juga pikiran buruk yang menghantuinya akhir-akhir ini.
“Hahaha. Kamu sinis banget, sih, nanyanya?” Virza mencubit hidung Nina. “Topi ini gak pernah aku keluarin dari tas. Jadi, wajar aja tersimpan di sini terus.”
Lagi-lagi Nina hanya menganggukkan kepalanya perlahan. Perasaan takut kehilangan semakin menyeruak dalam benak dan juga hatinya. Apa ini? batin Nina.
“Kamu kenapa, Yang?” Virza mengarahkan wajahnya agar bisa melihat Nina lebih dekat lagi.
Nina menggelengkan kepalanya. “Gak apa-apa. Yuk, makan. Aku udah lapar banget gara-gara nungguin kamu berjam-jam.”

YY

Keheningan itu terasa menyesakkan bagi Nina. Ia tidak tahu harus mulai dari mana, padahal sebelumnya Nina sudah menyusun begitu banyak kata untuk diucapkan. Namun, skenario itu seolah-olah menguap dan menghilang entah ke mana. Di hadapannya Virza masih menunggu dalam diam. Sesekali ia memiringkan kepalanya ke kiri sambil pandangannya terus menatap Nina lekat-lekat.
“Kamu mau ngomong apa?” Akhirnya Virza bersuara, mengusir keheningan yang sedari tadi menaungi kamar kosnya.
“Ehmm, sebenarnya aku jenuh dengan hubungan ini. Kamu yang di Jakarta dan aku yang di Jogja. Capek gak sih jalanin hubungan kayak gini?” Nina tidak berani menengadahkan wajahnya untuk menatap Virza. Setelah dipikir-pikir, merupakan suatu kesalahan berkata seperti ini. Namun, ini harus dilakukan. Nina harus mengungkapkan segala keluh-kesahnya selama ini.
“Maksudmu?”
“Yaaa, kamu capek gak sih hubungan jarak jauh? Tiap kali aku butuh kamu, kamu selalu gak bisa. Kamu sibuk kerja lah, sibuk lembur lah. Tiap kali aku mau nelpon kamu, kamu bilangnya gak usah karena capek, pengen tidur. Entah kenapa, aku ngerasa yang berusaha untuk mempertahankan hubungan ini hanya aku. Kamu sama sekali nggak, kamu pasif. Yang nelpon juga aku, yang insiatif buat nanya kabar juga aku. Semenjak kamu kerja di sini, kamu berubah. Nyadar gak sih aku tuh ada cuma pas kamu lagi butuh doang. Setelah itu, kamu ninggalin aku, lupa kalau punya aku dan itu nyakitin.”
“Aku bener-bener gak ngerti maksud kamu. Aku sama sekali gak ngerasa manfaatin kamu atau ingat kamu pas lagi butuh aja. Itu nggak bener, Yang.”
Nina menarik napas panjang. “Aku pinjam hape kamu.”
Virza terkejut lalu terdiam dan beberapa saat kemudian mengangsurkan handphone-nya pada Nina.
Nina tidak tahu harus melakukan apa, tapi ibu jarinya seolah-olah tahu harus bertindak seperti apa. Dibukanya Whatsapp Virza dengan segera. Seketika itu juga dunia seolah-olah tidak lagi bersahabat dengannya. Waktu seakan berhenti. Hanya ada ruang kosong bersama dirinya di sana.
 Rina. Satu nama itu yang sangat dibenci Nina. Satu nama itu yang dulu sempat diperjuangkan Virza habis-habisan agar tidak lagi mengganggu kehidupannya juga percintaannya dengan Nina. Satu nama itu yang ingin Virza lupakan seumur hidup. Tapi, kenapa nama itu kini hadir lagi? Dengan berjuta kata mesra dan foto bergambar dirinya yang sedang memakai gaun pemberian Virza saat masih bersama? Apa maksud semua ini? Dan kenapa Virza masih berhubungan dengannya, bahkan mencoba meneleponnya saat ia berkata tidak memiliki waktu cukup banyak untuk bercakap bersama Nina? Kenapa? Kenapa dia harus melakukan ini di saat rasa sayang Nina tumpah begitu banyak untuknya?
“Apa kamu lupa, Za, dengan semua itu? Kamu lupa saat Rina nyakitin aku, nyakitin kamu, nyakitin semua keluargamu, apa kamu lupa? Kamu lupa apa yang udah kamu perjuangin agar dia pergi dari hidup kamu? Kenapa kamu masih berhubungan sama dia? Kurangku apa?” Nina berteriak histeris. Tangannya masih menggenggam erat ponsel Virza. Virzha hanya terdiam dengan tampang pucat dan tangan yang terasa dingin.
“Dan juga kalian udah putus, tapi kenapa masih manggil nama kesayangan masing-masing? Ini yang kamu sebut temen? Iya? Udah puas sekarang kamu nyakitin aku? Kamu sama dia sama aja. Sama-sama brengsek!” Kali ini Nina menatap Virza dengan tatapan benci, marah, kesal, serta apa pun itu yang kini merayap di hatinya. Tanpa menunggu jawaban Virza, ibu jari Nina menelusuri galeri foto. Baru saja hendak dibuka, tangan kokoh Virza merebutnya.
“Kenapa? Ada yang kamu sembunyikan dari aku?”
“Nggak, nggak ada. Nggak ada apa-apa di sini.” Terlihat jari-jari Virza yang bergerak cepat seolah-olah sedang menghapus beberapa foto yang mungkin saja bisa membuat Nina naik pitam.
“Kalo gak ada apa-apa, harusnya kamu gak takut. Kemarikan handphone-mu!” Tangan Nina hendak merebut ponsel Virza, tapi Virza bergerak lebih cepat dibanding Nina.
“Sudah kubilang nggak ada apa-apa!” Kali ini suara Virza meninggi.
Nina sedikit kaget dengan reaksi yang diberikan Virza. Untuk sesaat, ia terdiam.
“Sepertinya cukup sampai di sini, Za.” Nina menengadahkan kepalanya menatap Virza. Ia tidak lagi memanggilnya dengan sebutan ‘Sayang’. Baginya sebutan itu sudah tidak pantas lagi disematkan pada Virza, seorang lelaki yang bahkan tidak bisa menepati janjinya untuk terus bersama. Nina tidak ingin sakit lagi di kemudian hari. Cukup sekali ini saja sakit yang ia rasakan. Ia tidak ingin tumbuh dengan rasa sakit yang berulang jika memilih untuk menghabiskan hidup dengannya.
“Nin, please. Aku masih sayang sama kamu. Aku gak mau kamu pergi dari hidup aku. Tolong kasih aku kesempatan sekali lagi buat ngebuktiin kalo aku bener-bener pengen berubah, bener-bener pengen ngebahagiain kamu. Aku tau aku salah, tapi jujur aku gak bisa kehilangan kamu.” Virza meraih tangan Nina.
Nina tersenyum di sela bulir-bulir air mata yang terus mengalir. “Nggak, Za, kita udah gak bisa lagi.” Ia perlahan melepaskan tangannya dari genggaman Virza. “Kita lebih baik pisah karena kalo lanjut, aku takut kesempatan kamu buat nyakitin aku semakin besar.”
“Enggak, Nin, aku mohon. Aku minta maaf. Aku janji aku bisa berubah” Virza menampakkan wajahnya yang sarat penyesalan. Ia mencoba meraih kepala Nina, tapi Nina bergerak menjauh.
 “Iya, aku tau kamu bisa berubah, tapi perubahan itu bukan untuk aku, tapi untuk orang lain yang bisa nerima kamu apa adanya. Orang itu pasti bakalan beruntung milikin kamu yang udah berubah. Tapi, maaf, Za, aku udah nggak bisa walaupun jujur aku masih sayang banget sama kamu. Maaf, Za. Tolong lepasin aku, please.
Hening. Virza hanya bisa terdiam dan tertunduk lesu. Jauh dalam lubuk hatinya ia benar-benar merasa bersalah pada Nina, tapi Virza juga nggak bisa membohongi hatinya yang masih menyimpan sedikit cinta untuk Rina. Sosok itu kembali datang beberapa hari yang lalu dan menggoyangkan perasaannya pada Nina. Ia hadir dan menawarkan berjuta janji ingin merajut kembali asa yang sempat terputus dulu. Bahkan ia tidak peduli dengan posisi Virza yang saat ini telah memiliki kekasih. Bagi Virza, hadirnya Rina saat ia jauh dari Nina sungguh merupakan oase yang menyegarkan dan tiga hari yang dihabiskannya bersama Rina di Bogor kembali menguatkan perasaan cintanya yang dulu sempat mati.
Nina menggerakkan kakinya perlahan lalu memutar tubuhnya menjauh dan keluar dari kamar Virza. Ia menangis sesenggukan dan setengah berlari mencoba melupakan semua yang telah terjadi. Biar saja orang-orang yang kini menatapnya berpikir dia gila. Ya, dia gila karena cinta. Dia gila karena pengkhianatan. Dia gila karena kebohongan. Lelaki yang begitu dicintainya memilih untuk menengok ke masa lalu dan berdiam di sana.
Virza. Lelaki yang seharusnya menjadi bagian dari masa depannya, kini telah menjadi bagian dari masa lalunya. Mungkin saja Nina akan menemukan cinta yang baru, tapi ia tidak tahu seberapa banyak makhluk bernama lelaki itu bisa dipercaya.



Tuesday, June 17, 2014

He

He sits there, on a red bench while staring up the sky.

He then turns his head, looks at me, and then smiles.

Oh, look how handsome he is!

With wrinkles on the forehead, he doesn't look old,

Still strong, or maybe stronger than the last time we met each other.

He then calls me, allows me to sit by his side.

He tells me some stories about world, about what’s going on.

Then suddenly his face looks so serious.

He asks me to leave my dreams,

My meaningless dreams, he said.

I would be nothing if I’m still living in my dreams.

He then shouts at me that I must pursue another dream,

Another dream that others will be happy,

Not even once thinking I’ll be happy to do that.

He then arises, once again staring up the sky.

Later he holds out his right hand to me.

“You must come with me,” he says.

And then silence is my perfect world since that time.

Dreams

I’m dreaming everyone’s dream, not exactly mine.

Someone said, “Go! Get your dream now. Do not give up even the sky’s falling down.”

Nah, she must be wrong.

Which dreams?

Which dreams I should pursue?

Which dreams I should reach?

Whose dreams are, actually?

Me? Nah!

I used to have dreams, many dreams that I myself become tired just to think about them.

And suddenly they come!

They take my dreams!

They burn my dreams!

They said my dreams are nothing!

Just a burden, a burden for the whole family!

A burden for my future, too!

And here, in the corner of my world, I just sit and stare nothing.

My dreams are gone, faded away.

There is nothing I could hold.

My dreams are my life and since they are gone, I’m dying.

In minutes later, I’ll go to neither hell nor heaven.

I’m just burnt into pieces along with my dreams.

Morning

This is the morning where everyone puts their best make-up,

a smile on their face.

This is the morning where every student will fight for algebra.

This is the morning where every mother and wives will serve breakfast for husbands and children.

This is the morning where every father will conquer the day to make money.

This is the morning where graduate students will deal with their final assignment.

This is the morning where couples try to give their best to express their loves.

This is the morning where beggars must work harder to get money.

But, this is the same morning where I have to deal with endless problems.

Hope that midnight will stay forever, doesn't welcome the sun.