Siang itu, matahari
cukup kejam menyinari kota pelajar ini. Berbagai merk kendaraan beroda dua dan
empat memenuhi sisi jalanan dengan membunyikan klakson di kala warna lampu lalu
lintas berganti dari merah ke hijau. Rupanya, tak satupun manusia yang ingin
berlama-lama di bawah terik matahari. Semuanya ingin cepat sampai di tujuan,
lalu menyejukkan diri menggunakan kipas angin, AC atau sekedar menyeruput
segelas es teh untuk menyegarkan dahaga.
Rasanya
ingin sekali saat ini juga menghempaskan tubuh di kasur empuk berselimutkan bed cover warna biru itu, memakan ice cream lalu menonton drama Korea
favorit. Bahagia itu sederhana, teman! Namun, apa yang terjadi? Impian itu
pupus tatkala Cella harus bersabar menunggu Dona yang sudah hampir dua jam
belum juga menampakkan batang hidungnya. Untuk yang kesekian kalinya, Cella
mencoba menghubungi ponsel Dona dan yak! Kali ini rupanya diangkat oleh pemilik
telepon.
“Donaaaaaa..
kamu di mana sih? Aku udah nungguin kamu dua jam, tau! Jadi gak kita ke
manding?”
“Aduh,
sorry banget Cell, aku lupa ngabarin
kamu. Tadi mendadak ibu minta tolong aku jemput sepupu yang dari Surabaya. Dia
mau liburan di sini selama sebulan. Kamu mau nunggu bentar gak? Ini orangnya
udah tiba kok. Mau skalian aku ajak jalan bareng juga biar gak bosen. Gimana?
Gak apa-apa kan?”
“Terserah
kamu.” Klik! Kesalnya bukan main. Gak
ada kabar apa-apa, dihubungin gak bisa, sekarang malah disuruh nunggu lagi.
Harus nunggu berapa lama lagi sih? Rutuk Cella dalam hati. Diambilnya novel
Paulo Coelho yang tersimpan rapi di dalam tas coklatnya, dibacanya bagian novel
yang telah dibatasi oleh pembatas buku sambil menikmati susu cokelat dingin
kemasan yang dibelinya sebelum berangkat ke tempat janjian.
“Cell,
aku minta maaf banget ya. Tadi buru-buru jadinya gak sempat ngabarin kamu. Kamu
gak marah kan?” kata-kata Dona langsung meluncur lancar dari mulutnya begitu
sampai di tempat janjian.
“Tapi
ada syaratnya. Kamu harus nraktir aku beef steak. Gimana? Deal?”
“Iya,
iya. Lagian udah biasa dipalakin kamu. Oh iya, aku sampe lupa ngenalin. Ini si
Sam, spupuku dari Surabaya.”
“Sam.”
“Cella.”
Cowok itu tersenyum
dengan lembutnya sambil menjulurkan tangannya yang kokoh dihiasi dengan jari
panjang nan ramping. Tangan itu sepertinya akan sangat kuat untuk menggenggam
sesuatu. Postur tubuhnya yang tinggi dan atletis sanggup memikat hati wanita
manapun di belahan dunia ini. Gak usah repot-repot nyatain cinta ke cewek. Yang
ada malahan cewek yang bakal nyatain cinta sama dia. Wajahnya lumayan tampan.
Ralat! Lumayan lumayan lumayan lumayan alias sangat sangat tampan! Kalau boleh
dibilang, agak mirip Brad Pit tapi versi Indonesia. Sebentar, sepertinya ada
yang janggal.
“Kamu yakin ini
sepupumu, Don? Kok beda?” Wajah Dona yang asli Indonesia dengan perpaduan
Jawa-Ambon, sedangkan wajah Sam yang indo terlihat sangat berbeda. Memang
sama-sama punya hidung mancung, tapi tetap saja beda.
“Hahaha..
aku tau kamu pasti bakalan nanya kayak gitu. Jadi, ibunya Sam itu orang
Belanda. Ketemu sama Oom ku waktu beliau lagi tugas belajar di sana. Begitu.”
Cella mengangguk-angguk dengan mulut terbuka berbentuk huruf O, tandanya dia
sudah mengerti. Jelas saja beda! Yang satu produk asli dalam negeri, yang satu
hasil pencampuran dua bangsa.
“Ya
udah yuk, makan dulu. Aku laper nih gara-gara panik sama buru-buru karena harus
jemput cowok satu ini.” Sam hanya tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala yang
pastinya gak gatal. Cella mengekor dari belakang. Dua makhluk di depannya ini
menjulang tinggi dengan kaki panjang yang juga ramping. Sedangkan dia, sangat
mungil tapi untungnya tidak semungil makhluk hobbit dalam film Lord of The
Ring.
***
“Hayooooo..
nglamunin apa kamu?” poni Cella dielus kasar oleh Dewa yang bagaikan hantu
datang tiba-tiba dengan suara yang menggelegar. Cella yang saat itu memang
tengah melamun sambil memperhatikan orang lalu-lalang di hall kampus, harus mengucapkan beberapa kata secara berulang.
Maklum, Cella kalau dikagetin suka latah tapi gak parah banget sampai harus
jedotin kepala ke tembok.
“Dewaaaaa..
kamu apa-apaan sih? Kaget, tau!!” Cella mengeluarkan semua tenaganya untuk
meninju bahu kanan yang terasa hanya seperti gigitan semut bagi Dewa. Dewa
terlihat puas sekali mengerjai Cella.
“Hahahaha..
kamu kalo kaget lucu juga ya. Latah! Hahahaha..”
“Jahat
banget sih kamu. Udah tau aku latah, masih aja dikagetin.”
“Maaf,
maaf. Habisnya kamu serius banget sih. Dipanggil-panggil gak nengok. Ya udah
aku kagetin aja sekalian. Memangnya kamu lagi nglamunin apa sih sampe serius gitu?”
Cella tampak sedikit berpikir. Keningnya berkerut kecil. Dia sedang
menimbang-nimbang apakah dia harus bercerita mengenai Sam ke Dewa. Di satu
sisi, Cella takut kebablasan kalau cerita soal Sam karena entah kenapa sejak
kemarin malam bayangan cowok itu selalu melayang-layang di pikirannya. Tapi, di
sisi lain, dia gak mau berbohong sama Dewa. Dewa sahabatnya dan dia harus tau
itu.
“Cell?”
“Hmmm...
tapi kamu jangan tertawa ya kalo aku crita.” Dewa tampak mengerutkan kening dan
menaikkan alis sebelah kanannya, menunggu Cella melanjutkan ceritanya.
“Kemarin
aku dikenalin sama sepupunya Dona. Cowok. Namanya Sam. Orangnya tinggi, udah
gitu ganteng banget. Hehe…” Cella menggaruk-garuk kepalanya dan mengayunkan
kedua kakinya ringan.
“Hahahaha..
Jadi ceritanya kamu sedang naksir dia? Hahaha.. aku kasih tau Dona ahh biar
lebih seru. Hahaha..”
“Eh,
jangan dong, Wa. Lagian kan belum tentu aku suka beneran sama si Sam. Bisa aja
kan ini cuma cinta monyet gara-gara liat cowok cakep. Hehehe.” Dalam hati
Cella, sebenarnya terdapat sebuah permintaan kecil yang diam-diam disampaikan
pada Tuhan. Dia ingin sekali dipertemukan lagi dengan Sam. Melihat wajahnya,
membayangkan dada bidangnya sebagai tempat teraman yang dia miliki walau suatu
saat tidak mungkin bisa menggapai Sam karena dia tahu. Dia cuma seorang cewek
berpostur mungil yang tidak punya kelebihan apa-apa. Kalaupun jodoh, dia yakin
Tuhan akan menunjukkan jalannya. Mungkin benar kata orang, cinta pada pandangan
pertama sangat sangat membahagiakan hingga rasanya hampir mau mati karena harus
menahan ledakan cinta yang begitu dahsyat di dada.
***
Ting tong! Ting tong!
Cella
yang saat itu hanya memakai daster lusuh karena sedang membereskan kamar,
berlari cepat ke arah ruang tamu meninggalkan sapu ijuk yang dilemparkannya
begitu saja di pojok kamar. Dibukanya pintu dan sesaat kemudian berdiri
mematung. Makhluk yang selama ini berlarian di dalam mimpinya, yang selalu
disisipkan dalam doa malamnya, sekarang sedang berdiri sambil tersenyum simpul
ke arahnya.
“S..S..Sam??
Ka..kamu ngapain di sini?” Susah payah Cella mengatur napas agar tidak terlihat
konyol di hadapan Sam. Sedetik kemudian dia tersadar kalau sedang memakai
daster ibunya, ditambah lagi rambutnya yang diikat sembarangan. Lengkaplah
sudah penderitaan Cella di hari ini. Sial apa si Sam harus melihatnya dalam
kondisi buruk seperti ini? Tanpa bersuara Cella langsung melesat cepat ke arah
kamar dan mengganti bajunya dengan yang lebih sedap dipandang.
“Kamu
ngapain di sini Sam? Kok bisa tau rumahku?” Cella mengulang lagi pertanyaannya.
Tetap gak percaya kalau cowok tampan bagaikan malaikat itu sedang duduk manis
di hadapannya.
“Aku
tau alamatmu dari Dona.”
“Oh
iya ya, aku lupa.” Cella nyengir salah tingkah.
“Jalan,
yuk!”
“Ha?
Maksudnya?”
“Maksudnya
aku ngajakin kamu jalan. Mau gak?” What?
Mimpi apa dia semalam pagi-pagi gini si Sam ke rumah ngajakin jalan. Tanpa
berpikir panjang Cella mengangguk dengan cepat dan Sam tertawa melihat tingkah
spontan yang dilakukan Cella. Duh, bego!
Kenapa aku keliatan antusias gini sih? Batin Cella menjerit panik.
“Aku
siap-siap dulu ya kalo gitu.”
“Gak
usah dandan aneh-aneh ya. Kamu lebih cantik kalau natural.” Wajah Cella
kemudian terasa panas yang tingkatannya sanggup menghanguskan telur.
Cepat-cepat dia pergi ke kamar mandi sambil merasakan debaran jantuknya yang
berdetak hebat.
Sudah
hampir sebulan Sam menghabiskan liburannya di Yogyakarta dan selama itu pula,
kedekatannya dengan Cella seperti sudah tak ada jarak. Setiap malam, Sam selalu
menghubungi Cella untuk sekedar menanyakan kabar, apa yang dia lakukan hari
ini, apakah sudah makan atau belum. Sejam, dua jam berbincang dengan orang yang
disukai bukan masalah bagi Cella. Selama dia bahagia, apapun akan dilakukannya
termasuk tetap meladeni obrolan Sam walaupun mata tidak kuat lagi menahan
kantuk.
“Cell,
kamu udah punya pacar belum?” tanya Sam di suatu siang di restoran. Ketika itu
Sam mengajak Cella untuk menemaninya memilih batik sebagai oleh-oleh yang ingin
dibawa pulang ke Surabaya.
“Belum.
Kenapa, Sam?”
“Ehmmm…
kamu mau gak jadi pacarku?” Kata-kata Sam barusan seperti sebuah magnet yang
menarik Cella agar lebih dan lebih dalam lagi berada di pusaran yang namanya
cinta dan kebahagiaan. Dia berharap ini bukan mimpi, bukan guyonan belaka
layaknya Dewa yang selalu mengerjainya.
“Kamu
gak lagi becanda kan? Kita kan belum lama kenal.”
“Aku
gak becanda kok. Aku beneran suka sama kamu dan aku pengen kamu jadi pacarku.”
Raut muka Sam terlihat serius. Cella mencoba mencari kebenaran di mimik wajahnya,
di kedua matanya namun tidak mendapatkan apa-apa. Yang dia lihat hanyalah
sebuah kejujuran dan ketulusan di sana. Merasa yakin dan mantap, Cella
menganggukkan kepalanya. Hari ini, akan dicatatnya dalam diary-nya sebagai hari di mana dia diijinkan Tuhan untuk mengecap
kebahagiaan bersama orang yang dikasihinya.
***
Sudah
lebih dari enam bulan Cella merajut kasih bersama Sam dan masih tetap tidak
bisa mengontrol debaran jantungnya, wajahnya yang memerah ketika dipanggil
dengan sebutan sayang. Ini kali pertama Cella berhubungan dengan lawan jenis
setelah sekian lama menjomblo. Bukan karena gak laku, tapi entah kenapa setiap
kali cowok yang ngedeketin Cella tiba-tiba saja pergi tanpa kata, tanpa pamit
meninggalkannya termangu sendirian tanpa tahu apa penyebabnya.
Dia
berharap, semoga Sam adalah cowok yang benar-benar diutus Tuhan untuk
menghilangkan kegalauan di hatinya. Doa polos dan sederhana yang selalu memohon
agar Sam selalu nyaman berada di sisinya.
“Kamu
nyaman ya LDR gitu sama si Sam?” tanya Dona. Siang itu, mereka bertiga, Dona,
Dewa dan Cella duduk di pojok kantin sambil mengunyah bakso pak Maman yang
terkenal sangat enak di seantero kampus. Harganya yang cukup terjangkau membuat
warungnya selalu laris manis didatangi para mahasiswa yang kelaparan.
“Selama
kami saling setia dan percaya, kenapa mesti gak nyaman?”
“Tumben
bijak.” celetuk Dewa yang sedang susah payah membelah bola bakso menjadi dua.
Cella memutar kedua matanya melihat usaha sia-sia Dewa yang sedari tadi belum
berhasil membelah bola bakso menjadi potongan-potongan kecil.
“Kamu
kayak anak kecil deh, Wa gitu aja gak bisa. Sini, kupotongin.” Cella menarik
mangkuk bakso dan dengan cekatan memotong bola bakso yang berukuran jumbo
menjadi beberapa potongan kecil.
“Nih.
Sekarang kamu bisa makan dengan nyaman.” Cella menyodorkan kembali mangkuk
bakso Dewa dan tanpa sengaja, kedua tangannya saling bersentuhan. Dewa merasa
ada yang aneh. Jantungnya tiba-tiba tidak mau berkompromi dengan alam pikirnya.
Lutut terasa lemas. Apa ini? Apa yang sedang terjadi pada dirinya? Ini bukan
kali pertama tangannya bersentuhan dengan Cella. Tapi kenapa sentuhan kali ini
terasa berbeda? Dewa menatap Cella lebih lama dan semakin lama, dia merasakan
ada yang tidak beres pada dirinya.
“Wa?”
suara cempreng Dona membuyarkan lamunannya. “Wajahmu kok pucat? Kamu sakit ya?”
“Enggak
apa-apa kok. Kepalaku tiba-tiba pusing. Aku ke hall duluan ya, mau merebahkan diri sejenak di sana. Ngutang dulu
ya, Don.” Dewa pergi begitu saja meninggalkan Cella dan Dona yang saling
bertatapan keheranan melihat tingkah laku Dewa yang tiba-tiba aneh.
***
“Kamu
ngingetin aku sama mantanku dulu.” Ujar Sam tiba-tiba. Cella merasakan aliran
darahnya mengalir deras dan jantungnya memompa cukup kuat. Marah! Ya, siapa
yang gak marah kalau kekasih kita tiba-tiba membicarakan masa lalu? Masa lalu
adalah masa yang seharusnya dikubur dalam-dalam menjadi kenangan bukan untuk
dipanggil muncul ke permukaan. Dan juga, bukan sebagai topik pembicaraan dengan
kekasih masa kini.
“Maksudmu?”
Cella mencoba menahan amarahnya. Dia menarik napas pelan dan hati-hati agar
tidak terdengar oleh Sam di ujung sana.
“Ya,
kamu ngingetin aku sama mantanku. Kebiasaanmu yang suka memasukkan krupuk ke
dalam kuah kemudian di makan, sifat malas kalian, sama-sama suka coklat, dan
sama-sama tomboy.”
“Sam,
aku gak tau apa maksudmu dengan nyritain masa lalumu ke aku. Tapi jujur saja,
aku risih. Dan kalau kamu menelpon aku hanya untuk membicarakan masa lalu, lebih
baik aku tidur. Banyak kegiatan yang harus aku lakukan besok.” Cella
mengepalkan tangannya. Sebisa mungkin ia menahan amarahnya agar tidak tampak
idiot dan bodoh di hadapan seorang Sam. Cewek mana yang mau disamain dengan
masa lalu? Gak ada satupun cewek yang ikhlas dan rela diperlakukan seperti itu.
Kalau bisa, sekuat mungkin mereka akan berusaha untuk menjadi yang berbeda. Sam
seolah-olah tampak tersenyum kemudian berbicara pelan.
“Jangan
marah dulu, sayang. Aku cerita begini supaya kamu tau bukan dari orang lain,
tapi dari aku. Maaf, aku gak bermaksud apa-apa sama sekali. Aku sayang kamu.”
“Aku
juga sayang kamu, Sam.” Ada jeda sekitar 10 detik di antara mereka sebelum
akhirnya Cella memberanikan diri untuk memulai kembali percakapan.
“Sam,
aku tidur dulu ya. Udah jam sepuluh. Aku capek. Besok lagi ya teleponnya. Bye.” Klik! Cella membanting pelan dirinya di atas kasur. Berbagai
pikiran bermain di benaknya. Kalau memang
benar aku mirip sama mantannya, apakah mungkin dia jadian sama aku hanya
sebagai pelarian karena persamaanku dengan masa lalunya? Apakah itu benar?
Tanpa disadari, bulir air matanya jatuh perlahan membasahi pipi merahnya.
***
Cella
bangun dalam kondisi yang tidak terlalu menyenangkan di pagi ini. Dia masih
terbayang dengan pikiran dan kejadian semalam. Dia tidak cemburu tapi kenapa
Sam harus menyamakan dia dengan masa lalunya? Kalau toh ada yang kurang dari dirinya, ada yang jelek dari dirinya, yang
tidak disukai dari dirinya, Sam bisa bilang apa pun dan dia akan berusaha
sebaik mungkin untuk berubah biar hubungan ini tidak selalu terikat dengan masa
lalu dan selamanya kalau perlu.
“Huffttt..”
Cella menendang kerikil kecil yang berada di taman sekitar hall kampus. Tidak ada niat sama sekali untuk melakukan apapun.
Kepalanya masih pusing memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak dipikirkan.
“Kamu
kenapa, Cell? Di kelas kamu diem aja gak kayak biasanya. Di sini juga kamu cuma
duduk, nglamun sambil komat-kamit gak jelas. Lagi ngafalin mantra ya? Hehehe.”
Dewa menunjukkan cengiran lebarnya yang aneh banget diliat. Mau gak mau Cella
akhirnya tertawa juga melihat polah sahabatnya yang satu ini. Entah kenapa,
kehadiran Dewa selalu bisa membuatnya nyaman dan tenteram bilamana dirundung
masalah. Ada sajaaa yang bakal dilakuinnya supaya Cella tersenyum kembali.
Suatu ketika saat sedang bersedih dan depresi karena impiannya ingin menjadi
jurnalis ditentang keras oleh kedua orangtuanya, Dewa datang dengan memakai
baju colorful super ketat ke rumahnya. Cella yang waktu itu sedang membersihkan
halaman cuma bisa melongo melihat penampilan Dewa. Sedangkan, tetangganya sudah
tidak bisa lagi menahan tawa. Ya, Dewa merupakan sahabat yang paling dipercayai
oleh Cella. Dia merasa nyaman untuk menumpahkan segala kekesalan, gundah gulana
yang dirasakannya. Dewa adalah yang terbaik yang pernah dimilikinya.
“Aku
gak apa-apa kok.” Maaf, Wa. Kali ini aku
terpaksa berbohong sama kamu.
“Sampai
kapan kamu mau bilang kamu gak kenapa-kenapa? Aku temenan sama kamu bukan baru
kemarin, Cell. Aku tau pasti terjadi sesuatu sama kamu, itupun kalau kamu mau
cerita.”
“Sam
bercerita tentang mantannya. Katanya, aku persis seperti dia. Mulai dari cara
makan, sifat dan hobi.” Kata Cella tida-tiba. Dia juga heran kenapa dengan
lancarnya dia bercerita tentang masalahnya kepada Dewa padahal dia sudah
berusaha sekuat mungkin untuk menutupinya.
“Dan
kamu cemburu?”
“Marah
lebih tepatnya. Bukan cemburu. Aku hanya kesal jika disamain seperti itu. Cewek
mana sih yang gak bakal marah disamain sama masa lalu oleh cowoknya? Kalau aku
cuma buat pelarian seharusnya dia jujur dari awal!” Cella tidak sanggup lagi
membendung amarahnya. Kata-kata yang dilontarkan setengah teriak itu, juga
dibarengi dengan air mata yang mengalir perlahan. Secara spontan, ibu jari Dewa
menghapus air mata tersebut dan lagi-lagi, Dewa merasakan jantungnya berdegup
kencang. Dia tidak tahu perasaan apa yang sedang menyelimutinya tapi satu yang
ingin ia lakukan, ia ingin memeluk Cella. Meringankan kesedihannya dan
menghapus air matanya. Ia ingin mengecup kening Cella dan berkata semua
baik-baik saja. Ada dia di sini yang akan menjaganya dan tidak akan pernah
membuatnya bersedih. Gak mungkin aku suka
sama Cella. Gak mungkin!!! Dewa menggelengkan kepalanya sekuat mungkin,
membuat Cella terheran-heran.
“Kamu
pusing, Wa?” Cella menempelkan punggung tangannya di kening Dewa. Cukup, Cell. Jangan perhatian begitu. Aku
bisa mati menahan perasaanku yang bertepuk sebelah tangan. Batin Dewa
berteriak.
“Aku
gak apa-apa.”
***
Sore
itu, di bulan November yang hangat, Sam menepati janjinya untuk kembali ke
Yogyakarta sekedar menemui kekasih hatinya yang sudah sangat lama tidak
dilihatnya. Diajaknya Cella ke sebuah tempat makan yang menyajikan menu steak
beraneka pilihan. Cella memilih beef steak, sedangkan Sam memilih chicken
steak.
“Mantanku
dulu juga suka beef steak.” Sam berkata tiba-tiba sambil memotong steak
tersebut menjadi beberapa bagian. Cella menatapnya dengan tatapan tajam dan
tangan kirinya yang memegang garpu, terhenti di udara. Beberapa menit kemudian,
seolah-olah tidak terjadi apa-apa, Cella kembali memakan steaknya dengan kadar
selera yang mulai berkurang.
“Dia
tuh gak pernah ngrasa kenyang. Kalo beef steaknya udah abis, dia pasti bakal
mesen French fries.” Mata Sam tampak berbinar-binar membicarakan masa lalunya.
Tenggorokan Cella tercekat. Susah sekali untuk menelan. Cella seperti tidak
sedang mendengarkan Sam. Dia terus memakan steak yang ada di hadapannya.
“Aku
masih ingat. Dulu sepulang sekuliah, dia bilang pengen makan bakso. Aku ikutin
permintaannya. Katanya udah kenyang, tapi lima menit kemudian udah jajan mi
ayam. Hahaha.. lucu banget waktu itu.”
“Kok
diam?” Sam akhirnya tersadar kalau percakapan yang terjadi adalah percakapan
satu arah.
“Udah
ceritanya? Kalo udah, aku mau pulang.” Cella meletakkan garpu dan pisau makan,
dan kemudian mengelap pelan bibirnya.
“Kamu
kenapa sih? Salah kalau aku certain mantan?” Rahang Sam mengeras.
“Salah!
Kamu udah sama aku. Kamu udah milih aku jadi masa depanmu. Dan gak seharusnya
kamu terbayang sama masa lalu. Kalo kamu belum bisa nglupain mantan kamu,
selesaikan dulu masalahmu. Jangan jadikan aku pelarianmu. Aku juga punya
perasaan. Kamu pikir aku fine –fine aja
denger cerita kamu? Enggak! Tiap kali nelpon, yang kamu omongin tentang mantanmu
terus. Aku kurang apa sih, Sam? Aku kurang cantik? Aku kurang pintar? Aku
kurang modis? Jawab!!!” Akhirnya Cella menumpahkan semua kekesalan dan
kemarahan yang selama ini disimpan dalam hati. Dia sudah tidak peduli dengan
pandangan setiap orang di tempat itu.
“Kenapa
gak jawab? Bener kan kata-kataku?”
“Cell,
denger dulu penjelasanku. Aku gak ada maksud apa-apa.”
“Kamu
gak ada maksud apa-apa tapi tiap hari ngomongin mantan artinya apa?” Cella
tidak tahu lagi harus bagaimana. Rasanya dia sedang tenggelam lebih dalam lagi
ke samudra yang luas hingga susah untuk bernapas. Inikah rasanya jika kekasihmu
masih mengingat yang dulu? Beginikah rasanya?
“Maaf,
Sam. Tapi aku udah gak kuat lagi jalan sama kamu. Kita putus.” Belum juga Cella
membalikkan badannya, sebuah tangan kokoh memukul wajah Sam. Sam limbung dan
tak berdaya. Nyaris tidak bisa berdiri. Pandangan Cella yang tadinya tampak
kabur karena air mata, kini terlihat jelas.
“Dewaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa..!!!”
***
31 Desember 2013…
Sudah hampir sebulan
semenjak peristiwa itu namun Cella masih duduk termenung di dalam kamarnya.
Perasaan cintanya yang begitu hebat terhadap Sam mampu melumpuhkan setiap sendi
tubuhnya, setiap niatnya dan setiap mimpinya. Dia masih sangat mencintai Sam
tapi tak sanggup untuk berjalan bersama seseorang yang masih terikat dengan
cinta masa lalu. Cinta memang tidak harus memiliki. Kalau Sam memang lebih
bahagia bersama cinta dan kenangan masa lalunya, biarkanlah. Dia juga berhak
mengejar kebahagiaannya sendiri dengan orang yang lebih baik dari Sam.
Tok!
Cella menoleh ke arah
jendela dengan rasa panik yang cukup hebat. Diambilnya baygon sebagai senjata
pertahanannya kalau-kalau orang jahat itu memang sedang mengincar rumahnya,
atau lebih buruk, dirinya. Pelan-pelan dia membuka kain gordin, mengintip di
celah kecil jendela.
“Dewa?” Dewa sedang
berdiri di luar pagar rumah Cella sambil membawa beberapa kertas bertuliskan
sesuatu. Cella mengisyaratkan agar Dewa tetap berdiri disitu sambil menunggunya
membukakan pintu.
“Dewa? Kamu ngapain jam
segini di depan rumah orang? Gak takut dihajar warga?” Dewa tersenyum dan
menggelengkan kepala dalam diam.
“Kamu kenapa sih, Wa?
Aneh banget deh. Itu kertas-kertas apa?” tanya Cella, menunjuk kertas-kertas
yang dibawa Dewa. Seketika itu juga Dewa mengangkat kertas-kertas itu satu per
satu.
Diangkatnya kertas
pertama yang bertuliskan: Hei kamu yang
di sana. Yang bertubuh mungil dan berpipi merah. Apa kabar?. Kertas kedua
bertuliskan: Aku merindukanmu karena
sebulan kamu terus-menerus mengurung diri di kamar. Lalu, kertas ketiga
bertuliskan Aku di sini sekarang. Jangan
nangis lagi ya. Dan terakhir, kertas keempat yang bertuliskan Aku sayang kamu, dulu, sekarang dan
selamanya.
Air mata Cella jatuh
perlahan membahasi pipinya. Dia tidak menyangka bahwa ada seseorang yang begitu
tulus menyayanginya dalam diam, tanpa pernah mengeluh, tanpa pernah memaksa dan
tanpa pernah berharap. Seseorang yang selama ini dianggapnya hanya sebagai
sahabat, tempat berbagi keluh dan kesah. Cella begitu buta dengan pesona Sam
selama ini sehingga dia tidak menyadari ada sinar yang lebih terang, yang
selama ini menaunginya, menguatkannya dan melindunginya.
Duarrr..
Duarrr… Duarrr…
Kembang api menandai
pergantian tahun. Melukis langit dengan warna-warnanya yang ceria, memberikan
semangat, memberikan harapan bahwa semoga di tahun yang baru semua makhluk di
bumi bisa lebih baik lagi. Begitu pula hati Cella yang semula hitam, gelap dan
kosong, diwarnai begitu indah dengan cinta dari Dewa. Dia bersyukur, bahwa
Tuhan masih sangat menyayanginya dengan tidak meninggalkannya sendirian.
Ciuman lembut namun
singkat itu mendarat cepat di bibir merah Cella, di bawah pendar-pendar cahaya
kembang api. Tubuh Cella mendadak kaku, bingung dan tidak tahu harus berkata apa.
Dewa mengelus pipinya dengan lembut.
“Kamu gak harus
mencintai aku sekarang. Aku akan menunggu sampai kapanpun, seribu tahun kalau
perlu, sampai kamu bisa mencintaiku dengan tulus, tanpa paksaan dan bukan
karena pelarian.” Dewa mengecup kening Cella perlahan. Cella merasakan
kesejukan yang begitu damai di dalam hatinya. Dia tersenyum lalu menggandeng
tangan Dewa menikmati kilauan kembang api pergantian tahun.