Tuesday, December 31, 2013

Sahabatku, (Calon) Kekasihku


Siang itu, matahari cukup kejam menyinari kota pelajar ini. Berbagai merk kendaraan beroda dua dan empat memenuhi sisi jalanan dengan membunyikan klakson di kala warna lampu lalu lintas berganti dari merah ke hijau. Rupanya, tak satupun manusia yang ingin berlama-lama di bawah terik matahari. Semuanya ingin cepat sampai di tujuan, lalu menyejukkan diri menggunakan kipas angin, AC atau sekedar menyeruput segelas es teh untuk menyegarkan dahaga.
            Rasanya ingin sekali saat ini juga menghempaskan tubuh di kasur empuk berselimutkan bed cover warna biru itu, memakan ice cream lalu menonton drama Korea favorit. Bahagia itu sederhana, teman! Namun, apa yang terjadi? Impian itu pupus tatkala Cella harus bersabar menunggu Dona yang sudah hampir dua jam belum juga menampakkan batang hidungnya. Untuk yang kesekian kalinya, Cella mencoba menghubungi ponsel Dona dan yak! Kali ini rupanya diangkat oleh pemilik telepon.
            “Donaaaaaa.. kamu di mana sih? Aku udah nungguin kamu dua jam, tau! Jadi gak kita ke manding?”
            “Aduh, sorry banget Cell, aku lupa ngabarin kamu. Tadi mendadak ibu minta tolong aku jemput sepupu yang dari Surabaya. Dia mau liburan di sini selama sebulan. Kamu mau nunggu bentar gak? Ini orangnya udah tiba kok. Mau skalian aku ajak jalan bareng juga biar gak bosen. Gimana? Gak apa-apa kan?”
            “Terserah kamu.” Klik! Kesalnya bukan main. Gak ada kabar apa-apa, dihubungin gak bisa, sekarang malah disuruh nunggu lagi. Harus nunggu berapa lama lagi sih? Rutuk Cella dalam hati. Diambilnya novel Paulo Coelho yang tersimpan rapi di dalam tas coklatnya, dibacanya bagian novel yang telah dibatasi oleh pembatas buku sambil menikmati susu cokelat dingin kemasan yang dibelinya sebelum berangkat ke tempat janjian.

            “Cell, aku minta maaf banget ya. Tadi buru-buru jadinya gak sempat ngabarin kamu. Kamu gak marah kan?” kata-kata Dona langsung meluncur lancar dari mulutnya begitu sampai di tempat janjian.
            “Tapi ada syaratnya. Kamu harus nraktir aku beef steak. Gimana? Deal?”
            “Iya, iya. Lagian udah biasa dipalakin kamu. Oh iya, aku sampe lupa ngenalin. Ini si Sam, spupuku dari Surabaya.”
            “Sam.”
            “Cella.”
Cowok itu tersenyum dengan lembutnya sambil menjulurkan tangannya yang kokoh dihiasi dengan jari panjang nan ramping. Tangan itu sepertinya akan sangat kuat untuk menggenggam sesuatu. Postur tubuhnya yang tinggi dan atletis sanggup memikat hati wanita manapun di belahan dunia ini. Gak usah repot-repot nyatain cinta ke cewek. Yang ada malahan cewek yang bakal nyatain cinta sama dia. Wajahnya lumayan tampan. Ralat! Lumayan lumayan lumayan lumayan alias sangat sangat tampan! Kalau boleh dibilang, agak mirip Brad Pit tapi versi Indonesia. Sebentar, sepertinya ada yang janggal.
“Kamu yakin ini sepupumu, Don? Kok beda?” Wajah Dona yang asli Indonesia dengan perpaduan Jawa-Ambon, sedangkan wajah Sam yang indo terlihat sangat berbeda. Memang sama-sama punya hidung mancung, tapi tetap saja beda.
            “Hahaha.. aku tau kamu pasti bakalan nanya kayak gitu. Jadi, ibunya Sam itu orang Belanda. Ketemu sama Oom ku waktu beliau lagi tugas belajar di sana. Begitu.” Cella mengangguk-angguk dengan mulut terbuka berbentuk huruf O, tandanya dia sudah mengerti. Jelas saja beda! Yang satu produk asli dalam negeri, yang satu hasil pencampuran dua bangsa.
            “Ya udah yuk, makan dulu. Aku laper nih gara-gara panik sama buru-buru karena harus jemput cowok satu ini.” Sam hanya tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala yang pastinya gak gatal. Cella mengekor dari belakang. Dua makhluk di depannya ini menjulang tinggi dengan kaki panjang yang juga ramping. Sedangkan dia, sangat mungil tapi untungnya tidak semungil makhluk hobbit dalam film Lord of The Ring.
***
            “Hayooooo.. nglamunin apa kamu?” poni Cella dielus kasar oleh Dewa yang bagaikan hantu datang tiba-tiba dengan suara yang menggelegar. Cella yang saat itu memang tengah melamun sambil memperhatikan orang lalu-lalang di hall kampus, harus mengucapkan beberapa kata secara berulang. Maklum, Cella kalau dikagetin suka latah tapi gak parah banget sampai harus jedotin kepala ke tembok.
            “Dewaaaaa.. kamu apa-apaan sih? Kaget, tau!!” Cella mengeluarkan semua tenaganya untuk meninju bahu kanan yang terasa hanya seperti gigitan semut bagi Dewa. Dewa terlihat puas sekali mengerjai Cella.
            “Hahahaha.. kamu kalo kaget lucu juga ya. Latah! Hahahaha..”
            “Jahat banget sih kamu. Udah tau aku latah, masih aja dikagetin.”
            “Maaf, maaf. Habisnya kamu serius banget sih. Dipanggil-panggil gak nengok. Ya udah aku kagetin aja sekalian. Memangnya kamu lagi nglamunin apa sih sampe serius gitu?” Cella tampak sedikit berpikir. Keningnya berkerut kecil. Dia sedang menimbang-nimbang apakah dia harus bercerita mengenai Sam ke Dewa. Di satu sisi, Cella takut kebablasan kalau cerita soal Sam karena entah kenapa sejak kemarin malam bayangan cowok itu selalu melayang-layang di pikirannya. Tapi, di sisi lain, dia gak mau berbohong sama Dewa. Dewa sahabatnya dan dia harus tau itu.
            “Cell?”
            “Hmmm... tapi kamu jangan tertawa ya kalo aku crita.” Dewa tampak mengerutkan kening dan menaikkan alis sebelah kanannya, menunggu Cella melanjutkan ceritanya.
            “Kemarin aku dikenalin sama sepupunya Dona. Cowok. Namanya Sam. Orangnya tinggi, udah gitu ganteng banget. Hehe…” Cella menggaruk-garuk kepalanya dan mengayunkan kedua kakinya ringan.
            “Hahahaha.. Jadi ceritanya kamu sedang naksir dia? Hahaha.. aku kasih tau Dona ahh biar lebih seru. Hahaha..”
            “Eh, jangan dong, Wa. Lagian kan belum tentu aku suka beneran sama si Sam. Bisa aja kan ini cuma cinta monyet gara-gara liat cowok cakep. Hehehe.” Dalam hati Cella, sebenarnya terdapat sebuah permintaan kecil yang diam-diam disampaikan pada Tuhan. Dia ingin sekali dipertemukan lagi dengan Sam. Melihat wajahnya, membayangkan dada bidangnya sebagai tempat teraman yang dia miliki walau suatu saat tidak mungkin bisa menggapai Sam karena dia tahu. Dia cuma seorang cewek berpostur mungil yang tidak punya kelebihan apa-apa. Kalaupun jodoh, dia yakin Tuhan akan menunjukkan jalannya. Mungkin benar kata orang, cinta pada pandangan pertama sangat sangat membahagiakan hingga rasanya hampir mau mati karena harus menahan ledakan cinta yang begitu dahsyat di dada.
***

            Ting tong! Ting tong!
            Cella yang saat itu hanya memakai daster lusuh karena sedang membereskan kamar, berlari cepat ke arah ruang tamu meninggalkan sapu ijuk yang dilemparkannya begitu saja di pojok kamar. Dibukanya pintu dan sesaat kemudian berdiri mematung. Makhluk yang selama ini berlarian di dalam mimpinya, yang selalu disisipkan dalam doa malamnya, sekarang sedang berdiri sambil tersenyum simpul ke arahnya.
            “S..S..Sam?? Ka..kamu ngapain di sini?” Susah payah Cella mengatur napas agar tidak terlihat konyol di hadapan Sam. Sedetik kemudian dia tersadar kalau sedang memakai daster ibunya, ditambah lagi rambutnya yang diikat sembarangan. Lengkaplah sudah penderitaan Cella di hari ini. Sial apa si Sam harus melihatnya dalam kondisi buruk seperti ini? Tanpa bersuara Cella langsung melesat cepat ke arah kamar dan mengganti bajunya dengan yang lebih sedap dipandang.
            “Kamu ngapain di sini Sam? Kok bisa tau rumahku?” Cella mengulang lagi pertanyaannya. Tetap gak percaya kalau cowok tampan bagaikan malaikat itu sedang duduk manis di hadapannya.
            “Aku tau alamatmu dari Dona.”
            “Oh iya ya, aku lupa.” Cella nyengir salah tingkah.
            “Jalan, yuk!”
            “Ha? Maksudnya?”
            “Maksudnya aku ngajakin kamu jalan. Mau gak?” What? Mimpi apa dia semalam pagi-pagi gini si Sam ke rumah ngajakin jalan. Tanpa berpikir panjang Cella mengangguk dengan cepat dan Sam tertawa melihat tingkah spontan yang dilakukan Cella. Duh, bego! Kenapa aku keliatan antusias gini sih? Batin Cella menjerit panik.
            “Aku siap-siap dulu ya kalo gitu.”
            “Gak usah dandan aneh-aneh ya. Kamu lebih cantik kalau natural.” Wajah Cella kemudian terasa panas yang tingkatannya sanggup menghanguskan telur. Cepat-cepat dia pergi ke kamar mandi sambil merasakan debaran jantuknya yang berdetak hebat.

            Sudah hampir sebulan Sam menghabiskan liburannya di Yogyakarta dan selama itu pula, kedekatannya dengan Cella seperti sudah tak ada jarak. Setiap malam, Sam selalu menghubungi Cella untuk sekedar menanyakan kabar, apa yang dia lakukan hari ini, apakah sudah makan atau belum. Sejam, dua jam berbincang dengan orang yang disukai bukan masalah bagi Cella. Selama dia bahagia, apapun akan dilakukannya termasuk tetap meladeni obrolan Sam walaupun mata tidak kuat lagi menahan kantuk.
            “Cell, kamu udah punya pacar belum?” tanya Sam di suatu siang di restoran. Ketika itu Sam mengajak Cella untuk menemaninya memilih batik sebagai oleh-oleh yang ingin dibawa pulang ke Surabaya.
            “Belum. Kenapa, Sam?”
            “Ehmmm… kamu mau gak jadi pacarku?” Kata-kata Sam barusan seperti sebuah magnet yang menarik Cella agar lebih dan lebih dalam lagi berada di pusaran yang namanya cinta dan kebahagiaan. Dia berharap ini bukan mimpi, bukan guyonan belaka layaknya Dewa yang selalu mengerjainya.
            “Kamu gak lagi becanda kan? Kita kan belum lama kenal.”
            “Aku gak becanda kok. Aku beneran suka sama kamu dan aku pengen kamu jadi pacarku.” Raut muka Sam terlihat serius. Cella mencoba mencari kebenaran di mimik wajahnya, di kedua matanya namun tidak mendapatkan apa-apa. Yang dia lihat hanyalah sebuah kejujuran dan ketulusan di sana. Merasa yakin dan mantap, Cella menganggukkan kepalanya. Hari ini, akan dicatatnya dalam diary-nya sebagai hari di mana dia diijinkan Tuhan untuk mengecap kebahagiaan bersama orang yang dikasihinya.
***
            Sudah lebih dari enam bulan Cella merajut kasih bersama Sam dan masih tetap tidak bisa mengontrol debaran jantungnya, wajahnya yang memerah ketika dipanggil dengan sebutan sayang. Ini kali pertama Cella berhubungan dengan lawan jenis setelah sekian lama menjomblo. Bukan karena gak laku, tapi entah kenapa setiap kali cowok yang ngedeketin Cella tiba-tiba saja pergi tanpa kata, tanpa pamit meninggalkannya termangu sendirian tanpa tahu apa penyebabnya.
            Dia berharap, semoga Sam adalah cowok yang benar-benar diutus Tuhan untuk menghilangkan kegalauan di hatinya. Doa polos dan sederhana yang selalu memohon agar Sam selalu nyaman berada di sisinya.
            “Kamu nyaman ya LDR gitu sama si Sam?” tanya Dona. Siang itu, mereka bertiga, Dona, Dewa dan Cella duduk di pojok kantin sambil mengunyah bakso pak Maman yang terkenal sangat enak di seantero kampus. Harganya yang cukup terjangkau membuat warungnya selalu laris manis didatangi para mahasiswa yang kelaparan.
            “Selama kami saling setia dan percaya, kenapa mesti gak nyaman?”
            “Tumben bijak.” celetuk Dewa yang sedang susah payah membelah bola bakso menjadi dua. Cella memutar kedua matanya melihat usaha sia-sia Dewa yang sedari tadi belum berhasil membelah bola bakso menjadi potongan-potongan kecil.
            “Kamu kayak anak kecil deh, Wa gitu aja gak bisa. Sini, kupotongin.” Cella menarik mangkuk bakso dan dengan cekatan memotong bola bakso yang berukuran jumbo menjadi beberapa potongan kecil.
            “Nih. Sekarang kamu bisa makan dengan nyaman.” Cella menyodorkan kembali mangkuk bakso Dewa dan tanpa sengaja, kedua tangannya saling bersentuhan. Dewa merasa ada yang aneh. Jantungnya tiba-tiba tidak mau berkompromi dengan alam pikirnya. Lutut terasa lemas. Apa ini? Apa yang sedang terjadi pada dirinya? Ini bukan kali pertama tangannya bersentuhan dengan Cella. Tapi kenapa sentuhan kali ini terasa berbeda? Dewa menatap Cella lebih lama dan semakin lama, dia merasakan ada yang tidak beres pada dirinya.
            “Wa?” suara cempreng Dona membuyarkan lamunannya. “Wajahmu kok pucat? Kamu sakit ya?”
            “Enggak apa-apa kok. Kepalaku tiba-tiba pusing. Aku ke hall duluan ya, mau merebahkan diri sejenak di sana. Ngutang dulu ya, Don.” Dewa pergi begitu saja meninggalkan Cella dan Dona yang saling bertatapan keheranan melihat tingkah laku Dewa yang tiba-tiba aneh.
***
            “Kamu ngingetin aku sama mantanku dulu.” Ujar Sam tiba-tiba. Cella merasakan aliran darahnya mengalir deras dan jantungnya memompa cukup kuat. Marah! Ya, siapa yang gak marah kalau kekasih kita tiba-tiba membicarakan masa lalu? Masa lalu adalah masa yang seharusnya dikubur dalam-dalam menjadi kenangan bukan untuk dipanggil muncul ke permukaan. Dan juga, bukan sebagai topik pembicaraan dengan kekasih masa kini.
            “Maksudmu?” Cella mencoba menahan amarahnya. Dia menarik napas pelan dan hati-hati agar tidak terdengar oleh Sam di ujung sana.
            “Ya, kamu ngingetin aku sama mantanku. Kebiasaanmu yang suka memasukkan krupuk ke dalam kuah kemudian di makan, sifat malas kalian, sama-sama suka coklat, dan sama-sama tomboy.”
            “Sam, aku gak tau apa maksudmu dengan nyritain masa lalumu ke aku. Tapi jujur saja, aku risih. Dan kalau kamu menelpon aku hanya untuk membicarakan masa lalu, lebih baik aku tidur. Banyak kegiatan yang harus aku lakukan besok.” Cella mengepalkan tangannya. Sebisa mungkin ia menahan amarahnya agar tidak tampak idiot dan bodoh di hadapan seorang Sam. Cewek mana yang mau disamain dengan masa lalu? Gak ada satupun cewek yang ikhlas dan rela diperlakukan seperti itu. Kalau bisa, sekuat mungkin mereka akan berusaha untuk menjadi yang berbeda. Sam seolah-olah tampak tersenyum kemudian berbicara pelan.
            “Jangan marah dulu, sayang. Aku cerita begini supaya kamu tau bukan dari orang lain, tapi dari aku. Maaf, aku gak bermaksud apa-apa sama sekali. Aku sayang kamu.”
            “Aku juga sayang kamu, Sam.” Ada jeda sekitar 10 detik di antara mereka sebelum akhirnya Cella memberanikan diri untuk memulai kembali percakapan.
            “Sam, aku tidur dulu ya. Udah jam sepuluh. Aku capek. Besok lagi ya teleponnya. Bye.” Klik! Cella membanting pelan dirinya di atas kasur. Berbagai pikiran bermain di benaknya. Kalau memang benar aku mirip sama mantannya, apakah mungkin dia jadian sama aku hanya sebagai pelarian karena persamaanku dengan masa lalunya? Apakah itu benar? Tanpa disadari, bulir air matanya jatuh perlahan membasahi pipi merahnya.
***
            Cella bangun dalam kondisi yang tidak terlalu menyenangkan di pagi ini. Dia masih terbayang dengan pikiran dan kejadian semalam. Dia tidak cemburu tapi kenapa Sam harus menyamakan dia dengan masa lalunya? Kalau toh ada yang kurang dari dirinya, ada yang jelek dari dirinya, yang tidak disukai dari dirinya, Sam bisa bilang apa pun dan dia akan berusaha sebaik mungkin untuk berubah biar hubungan ini tidak selalu terikat dengan masa lalu dan selamanya kalau perlu.
            “Huffttt..” Cella menendang kerikil kecil yang berada di taman sekitar hall kampus. Tidak ada niat sama sekali untuk melakukan apapun. Kepalanya masih pusing memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak dipikirkan.
            “Kamu kenapa, Cell? Di kelas kamu diem aja gak kayak biasanya. Di sini juga kamu cuma duduk, nglamun sambil komat-kamit gak jelas. Lagi ngafalin mantra ya? Hehehe.” Dewa menunjukkan cengiran lebarnya yang aneh banget diliat. Mau gak mau Cella akhirnya tertawa juga melihat polah sahabatnya yang satu ini. Entah kenapa, kehadiran Dewa selalu bisa membuatnya nyaman dan tenteram bilamana dirundung masalah. Ada sajaaa yang bakal dilakuinnya supaya Cella tersenyum kembali. Suatu ketika saat sedang bersedih dan depresi karena impiannya ingin menjadi jurnalis ditentang keras oleh kedua orangtuanya, Dewa datang dengan memakai baju colorful super ketat ke rumahnya. Cella yang waktu itu sedang membersihkan halaman cuma bisa melongo melihat penampilan Dewa. Sedangkan, tetangganya sudah tidak bisa lagi menahan tawa. Ya, Dewa merupakan sahabat yang paling dipercayai oleh Cella. Dia merasa nyaman untuk menumpahkan segala kekesalan, gundah gulana yang dirasakannya. Dewa adalah yang terbaik yang pernah dimilikinya.
            “Aku gak apa-apa kok.” Maaf, Wa. Kali ini aku terpaksa berbohong sama kamu.
            “Sampai kapan kamu mau bilang kamu gak kenapa-kenapa? Aku temenan sama kamu bukan baru kemarin, Cell. Aku tau pasti terjadi sesuatu sama kamu, itupun kalau kamu mau cerita.”
            “Sam bercerita tentang mantannya. Katanya, aku persis seperti dia. Mulai dari cara makan, sifat dan hobi.” Kata Cella tida-tiba. Dia juga heran kenapa dengan lancarnya dia bercerita tentang masalahnya kepada Dewa padahal dia sudah berusaha sekuat mungkin untuk menutupinya.
            “Dan kamu cemburu?”
            “Marah lebih tepatnya. Bukan cemburu. Aku hanya kesal jika disamain seperti itu. Cewek mana sih yang gak bakal marah disamain sama masa lalu oleh cowoknya? Kalau aku cuma buat pelarian seharusnya dia jujur dari awal!” Cella tidak sanggup lagi membendung amarahnya. Kata-kata yang dilontarkan setengah teriak itu, juga dibarengi dengan air mata yang mengalir perlahan. Secara spontan, ibu jari Dewa menghapus air mata tersebut dan lagi-lagi, Dewa merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tidak tahu perasaan apa yang sedang menyelimutinya tapi satu yang ingin ia lakukan, ia ingin memeluk Cella. Meringankan kesedihannya dan menghapus air matanya. Ia ingin mengecup kening Cella dan berkata semua baik-baik saja. Ada dia di sini yang akan menjaganya dan tidak akan pernah membuatnya bersedih. Gak mungkin aku suka sama Cella. Gak mungkin!!! Dewa menggelengkan kepalanya sekuat mungkin, membuat Cella terheran-heran.
            “Kamu pusing, Wa?” Cella menempelkan punggung tangannya di kening Dewa. Cukup, Cell. Jangan perhatian begitu. Aku bisa mati menahan perasaanku yang bertepuk sebelah tangan. Batin Dewa berteriak.
            “Aku gak apa-apa.”
***
            Sore itu, di bulan November yang hangat, Sam menepati janjinya untuk kembali ke Yogyakarta sekedar menemui kekasih hatinya yang sudah sangat lama tidak dilihatnya. Diajaknya Cella ke sebuah tempat makan yang menyajikan menu steak beraneka pilihan. Cella memilih beef steak, sedangkan Sam memilih chicken steak.
            “Mantanku dulu juga suka beef steak.” Sam berkata tiba-tiba sambil memotong steak tersebut menjadi beberapa bagian. Cella menatapnya dengan tatapan tajam dan tangan kirinya yang memegang garpu, terhenti di udara. Beberapa menit kemudian, seolah-olah tidak terjadi apa-apa, Cella kembali memakan steaknya dengan kadar selera yang mulai berkurang.
            “Dia tuh gak pernah ngrasa kenyang. Kalo beef steaknya udah abis, dia pasti bakal mesen French fries.” Mata Sam tampak berbinar-binar membicarakan masa lalunya. Tenggorokan Cella tercekat. Susah sekali untuk menelan. Cella seperti tidak sedang mendengarkan Sam. Dia terus memakan steak yang ada di hadapannya.
            “Aku masih ingat. Dulu sepulang sekuliah, dia bilang pengen makan bakso. Aku ikutin permintaannya. Katanya udah kenyang, tapi lima menit kemudian udah jajan mi ayam. Hahaha.. lucu banget waktu itu.”
            “Kok diam?” Sam akhirnya tersadar kalau percakapan yang terjadi adalah percakapan satu arah.
            “Udah ceritanya? Kalo udah, aku mau pulang.” Cella meletakkan garpu dan pisau makan, dan kemudian mengelap pelan bibirnya.
            “Kamu kenapa sih? Salah kalau aku certain mantan?” Rahang Sam mengeras.
            “Salah! Kamu udah sama aku. Kamu udah milih aku jadi masa depanmu. Dan gak seharusnya kamu terbayang sama masa lalu. Kalo kamu belum bisa nglupain mantan kamu, selesaikan dulu masalahmu. Jangan jadikan aku pelarianmu. Aku juga punya perasaan. Kamu pikir aku fine –fine aja denger cerita kamu? Enggak! Tiap kali nelpon, yang kamu omongin tentang mantanmu terus. Aku kurang apa sih, Sam? Aku kurang cantik? Aku kurang pintar? Aku kurang modis? Jawab!!!” Akhirnya Cella menumpahkan semua kekesalan dan kemarahan yang selama ini disimpan dalam hati. Dia sudah tidak peduli dengan pandangan setiap orang di tempat itu.
            “Kenapa gak jawab? Bener kan kata-kataku?”
            “Cell, denger dulu penjelasanku. Aku gak ada maksud apa-apa.”
            “Kamu gak ada maksud apa-apa tapi tiap hari ngomongin mantan artinya apa?” Cella tidak tahu lagi harus bagaimana. Rasanya dia sedang tenggelam lebih dalam lagi ke samudra yang luas hingga susah untuk bernapas. Inikah rasanya jika kekasihmu masih mengingat yang dulu? Beginikah rasanya?
            “Maaf, Sam. Tapi aku udah gak kuat lagi jalan sama kamu. Kita putus.” Belum juga Cella membalikkan badannya, sebuah tangan kokoh memukul wajah Sam. Sam limbung dan tak berdaya. Nyaris tidak bisa berdiri. Pandangan Cella yang tadinya tampak kabur karena air mata, kini terlihat jelas.
            “Dewaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa..!!!”
***
31 Desember 2013…
Sudah hampir sebulan semenjak peristiwa itu namun Cella masih duduk termenung di dalam kamarnya. Perasaan cintanya yang begitu hebat terhadap Sam mampu melumpuhkan setiap sendi tubuhnya, setiap niatnya dan setiap mimpinya. Dia masih sangat mencintai Sam tapi tak sanggup untuk berjalan bersama seseorang yang masih terikat dengan cinta masa lalu. Cinta memang tidak harus memiliki. Kalau Sam memang lebih bahagia bersama cinta dan kenangan masa lalunya, biarkanlah. Dia juga berhak mengejar kebahagiaannya sendiri dengan orang yang lebih baik dari Sam.
Tok!
Cella menoleh ke arah jendela dengan rasa panik yang cukup hebat. Diambilnya baygon sebagai senjata pertahanannya kalau-kalau orang jahat itu memang sedang mengincar rumahnya, atau lebih buruk, dirinya. Pelan-pelan dia membuka kain gordin, mengintip di celah kecil jendela.
“Dewa?” Dewa sedang berdiri di luar pagar rumah Cella sambil membawa beberapa kertas bertuliskan sesuatu. Cella mengisyaratkan agar Dewa tetap berdiri disitu sambil menunggunya membukakan pintu.
“Dewa? Kamu ngapain jam segini di depan rumah orang? Gak takut dihajar warga?” Dewa tersenyum dan menggelengkan kepala dalam diam.
“Kamu kenapa sih, Wa? Aneh banget deh. Itu kertas-kertas apa?” tanya Cella, menunjuk kertas-kertas yang dibawa Dewa. Seketika itu juga Dewa mengangkat kertas-kertas itu satu per satu.
Diangkatnya kertas pertama yang bertuliskan: Hei kamu yang di sana. Yang bertubuh mungil dan berpipi merah. Apa kabar?. Kertas kedua bertuliskan: Aku merindukanmu karena sebulan kamu terus-menerus mengurung diri di kamar. Lalu, kertas ketiga bertuliskan Aku di sini sekarang. Jangan nangis lagi ya. Dan terakhir, kertas keempat yang bertuliskan Aku sayang kamu, dulu, sekarang dan selamanya.
Air mata Cella jatuh perlahan membahasi pipinya. Dia tidak menyangka bahwa ada seseorang yang begitu tulus menyayanginya dalam diam, tanpa pernah mengeluh, tanpa pernah memaksa dan tanpa pernah berharap. Seseorang yang selama ini dianggapnya hanya sebagai sahabat, tempat berbagi keluh dan kesah. Cella begitu buta dengan pesona Sam selama ini sehingga dia tidak menyadari ada sinar yang lebih terang, yang selama ini menaunginya, menguatkannya dan melindunginya.
Duarrr.. Duarrr… Duarrr…
Kembang api menandai pergantian tahun. Melukis langit dengan warna-warnanya yang ceria, memberikan semangat, memberikan harapan bahwa semoga di tahun yang baru semua makhluk di bumi bisa lebih baik lagi. Begitu pula hati Cella yang semula hitam, gelap dan kosong, diwarnai begitu indah dengan cinta dari Dewa. Dia bersyukur, bahwa Tuhan masih sangat menyayanginya dengan tidak meninggalkannya sendirian.
Ciuman lembut namun singkat itu mendarat cepat di bibir merah Cella, di bawah pendar-pendar cahaya kembang api. Tubuh Cella mendadak kaku, bingung dan tidak tahu harus berkata apa. Dewa mengelus pipinya dengan lembut.
“Kamu gak harus mencintai aku sekarang. Aku akan menunggu sampai kapanpun, seribu tahun kalau perlu, sampai kamu bisa mencintaiku dengan tulus, tanpa paksaan dan bukan karena pelarian.” Dewa mengecup kening Cella perlahan. Cella merasakan kesejukan yang begitu damai di dalam hatinya. Dia tersenyum lalu menggandeng tangan Dewa menikmati kilauan kembang api pergantian tahun.

The End



Monday, December 30, 2013

Review The Chocolate Chance Novel (Yoana Dianika)


The Chocolate Chance
Pahit Manisnya Kehidupan

Cinta masa lalu memang tidak mudah untuk dilupakan oleh sebagian orang. Terkadang, bayangannya bisa menjadi penghalang untuk memulai hubungan yang baru di masa depan. Hal ini sangat jelas diungkapkan oleh Yoana Dianika dalam novel terbarunya yang berjudul, The Chocolate Chance. Novel yang terdiri dari 346 halaman ini, mengisahkan tentang seorang gadis berusia dewasa muda, Orvala, yang mengalami berbagai permasalahan hidup, mulai dari kondisi ekonomi keluarganya hingga percintaannya dengan seorang senior yang bernama Juno di masa lalu dan Aruna di masa kini.
Novel ini menggunakan alur gabungan atau campuran di mana pembaca diajak untuk mengenang kembali kisah masa lalu dan juga kondisi masa kini yang dialami oleh tokoh utama. Setiap bab diawali dengan kutipan-kutipan baik dari kata-kata tokoh utamanya sendiri maupun dari tokoh-tokoh terkenal dunia. Kutipan-kutipan tersebut memiliki petunjuk dalam menggambarkan tiap kisah yang akan diceritakan pada bab tersebut. Misalnya:

I am a miser of my memories of you. And will not spend them” (hal. 105).

It has been shown as proof positive that carefully prepared chocolate is as healthful a food as it is pleasant; that it is nourishing and easily digested … that it is above all helpful to people who must do a great deal of mental work” (hal. 138).

Kata memories yang ditebalkan menggambarkan bahwa bab tersebut akan menceritakan masa lalu yang dialami oleh Orvala. Kejadian masa lalunya dapat berupa kisah cintanya bersama Juno, kebahagiaan dan penderitaan ekonomi yang harus dihadapi olehnya karena sang Ayah harus bekerja keras membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga, bagaimana orang tuanya pada akhirnya pergi untuk selama-lamanya meninggalkan Orvala sendirian menghadapi tantangan hidup, dan awal mula pertemuannya dengan Aruna, cinta masa depannya. Sedangkan, kata chocolate yang ditebalkan menggambarkan bahwa bab yang akan dibaca menceritakan kejadian-kejadian masa kini yang dialami oleh tokoh utama, seperti perasaan bahagianya saat bekerja di Fedde Velten Café yang seluruhnya bertemakan coklat, hubungannya dengan Aruna yang kini telah berjalan hampir dua tahun, dan dilemma yang akhirnya dirasakan oleh Orvala ketika Juno, cinta lamanya, datang untuk merebutnya kembali dari sisi Aruna.
            Melalui novel The Chocolate Chance, penulis ingin menegaskan beberapa hal. Pertama, penulis ingin menyampaikan bahwa seseorang mempunyai kekuatan untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya. Apakah ingin terus tenggelam dan terperangkap dalam cinta masa lalu atau mengukir masa depan dengan cinta yang baru, murni dan tulus? Orvala mengalami perasaan dilema yang hebat ketika Juno, sang mantan, kembali mengisi relung hatinya dengan segala perhatian dan peluk hangat yang diberikan. Di sisi lain, Orvala juga sangat mencintai Aruna yang merupakan kekasihnya saat ini. Aruna merupakan sosok lelaki yang hadir di saat Orvala sangat membutuhkan bahu untuk bersandar ketika ditinggal oleh Ibunya untuk selama-lamanya. Keberadaan sosok Aruna juga mampu mencairkan kebekuan hatinya yang telah dikecewakan oleh Juno, pergi tanpa sepatah katapun.
            Perasaan dilema yang dialami Orvala memuncak saat Fidel, sosok wanita yang pernah dicintai Aruna, hadir kembali di tengah-tengah mereka. Orvala merasa bahwa setelah bertemu Fidel, Aruna semakin sering berbohong. Beberapa kali dia melihat Aruna pergi bersama Fidel, akan tetapi dia tak ingin percaya begitu saja sampai suatu saat, ketika dia sedang berada di rumah Juno untuk membicarakan proyek Fedde Velten Café, dia melihat dengan mata kepala sendiri Aruna mengantar Fidel.
            Di lain pihak, Aruna merasa telah dibohongi oleh Orvala karena tidak pernah menceritakan tentang masa lalunya bersama Juno yang adalah sepupunya sendiri. Namun, Aruna bukanlah sosok yang cepat naik pitam dan berlaku kasar. Dia tetap tenang dan menunggu hingga Orvala yang menceritakannya sendiri. Aruna dan Orvala, kedua pasangan ini tidak ingin berusaha untuk mencari kejelasan, tapi tetap tutup mulut dan berasumsi yang bukan-bukan. Hal ini menunjukkan bahwa sikap saling jujur, saling terbuka satu sama lain dan saling percaya merupakan poin-poin penting dalam berhubungan. Ini adalah  poin kedua yang ingin ditunjukkan oleh penulis.
            Novel ini tidak melulu mengulas tentang percintaan segitiga, namun juga mengisahkan bagaimana seorang gadis seperti Orvala harus berjuang untuk hidup di tengah-tengah kondisi ekonomi yang cukup memprihatinkan. Orang tua yang digambarkan oleh penulis pun memiliki sifat yang bijaksana, tidak pernah mengeluh, sabar, dan penuh kasih. Ayahnya, walaupun telah dipecat dari pekerjaan sebagai juru masak restoran, tetap membanting tulang lebih keras lagi agar Orvala tidak putus sekolah. Berbagai nasehat sang Ayah dan Ibu menjadi pelita bagi Orvala untuk menapaki hidup.
“Ibu, apakah orang bebal dan menyebalkan seperti itu bisa berubah?” Suara Orvala meluruh.
Wanita berdaster ungu itu tersenyum. “Tentu saja. Pada dasarnya semua manusia terlahir baik, Vala.” (hal. 38).

Satu hal paling penting yang harus dijaga seorang wanita hanya satu, Vala. Kehormatannya.” Kalimat peneguran mendiang Ayah terngiang lagi di telingaku (hal. 196).


            Penulis sangat pandai dalam menggambarkan suasana dan kondisi kafe seolah-olah pembaca sedang memasuki ruang demi ruang dan menikmati interior-interior serta aksesoris yang dipajang. Istilah serta filosofi cokelat yang tertuang dalam novel ini pun juga sangat berguna dalam menambah pengetahuan pembaca. Cokelat bukan saja sekedar makanan ringan penghilang stress, namun juga memiliki rasa serta nilai tersendiri yang bisa dianalogikan dengan suatu tahapan atau tingkatan hidup yang dihadapi manusia.
“Fedde Velten Box adalah reminder. Tingkat sukses manusia itu berbeda-beda. Tapi, seberapa pun beda tingkat kesuksesan itu, semua masih bisa dinikmati. Sama seperti cokelat praline mini yang ada di dalam boks tersebut. Walaupun pahit tanpa gula, masih ada orang yang menyukai cokelat seperti itu. Dengan kata lain, kesuksesan manusia tidak bisa diukur secara mutlak. Semua relatif dan bergantung penilaian, kan, ya?” (hal. 57).

            The Chocolate Chance merupakan sebuah novel yang menggunakan cokelat sebagai suatu ‘pusat’ terjadinya segala cerita tentang kehidupan Orvala. Sang Ayah yang sangat menggilai cokelat dan selalu mengajarkan Orvala menyeduh minuman cokelat yang baik dan benar dengan penuh perasaan, Juno, sang kekasih masa lalu, yang juga sangat menyukai cokelat, dan Aruna, pemilik Fedde Velten Café, yang mempunyai cita-cita agar cokelat yang dibuat oleh kafenya bisa diproduksi secara besar-besaran dan dikenal luas oleh siapa saja dan di mana saja. Cokelat juga lah yang membuat hubungan Aruna dan Orvala semakin lama semakin dekat hingga berjalan selama dua tahun, dan mempertemukan kembali Orvala dan Juno.
Novel The Chocolate Chance mengumpamakan cokelat seperti hidup yang terkadang manis dan terkadang pahit. Bagaimana seseorang harus mampu mengambil hikmah serta pelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi dan setiap kejadian, baik indah maupun buruk, harus dihadapi bukan dihindari sambil tetap berusaha melakukan yang terbaik dan tidak pernah berhenti untuk mewujudkan mimpi walaupun terlihat mustahil dan tidak mungkin di mata orang lain.