Sebuah
surga kecil yang terletak di sebelah selatan perairan Laut Sawu, menjadi tempat
bernaungku selama belasan tahun sebelum aku akhirnya hijrah ke Kupang, NTT
untuk memulai karir dalam kehidupanku. Lima puluh tujuh tahun yang lalu, aku
dilahirkan di sebuah rumah kecil berdindingkan batang bambu yang sudah dibuat sedemikian
rupa sehingga kami tidak kepanasan dan kehujanan.
Selama
beberapa lama aku hidup bersama keluarga dalam kesederhanaan dan kedisiplinan
yang tinggi yang diterapkan oleh ayah. Namun, hidup di daerah yang kekurangan
air, kekeringan yang melanda hampir setiap tahun karena curah hujan yang rendah,
dan juga penghasilan yang pas-pasan sebagai seorang guru untuk memberi makan
enam mulut, memaksa ayah untuk menitipkanku pada seorang paman, saudara ayah,
yang tinggal di bagian timur Sabu bernama Bolou. Umurku waktu itu lima tahun.
Sebagai seorang anak kecil yang belum mengerti apa-apa, aku menurut saja apa
kata ayah walaupun ingin sekali bertanya, “Kenapa kita harus hidup terpisah?”.
Hidup
bersama saudara ayahmu bukan berarti kau bisa makan dan tidur seenaknya.
Tubuhku yang kecil ini mau tidak mau harus bekerja untuk membantu paman. Dia
memang seorang Kepala Sekolah yang tidak memiliki anak, namun bukan berarti aku
hanya berpangku tangan dan berpura-pura tidak ada pekerjaan yang harus
dilakukan.
Jam
lima pagi, aku sudah harus bergegas memikul air dari mata air ke rumah menggunakan
haik[1]
untuk kebutuhan sehari-sehari seperti minum dan menanak nasi. Segera setelah
pekerjaan itu selesai, aku kemudian menuju ke pemandian umum, Lokoimada, untuk
menyegarkan tubuh sesaat sebelum ke sekolah. Setiap hari rutinitas ini
kujalankan tanpa mengeluh, tanpa putus asa ataupun mencaci maki pamanku
sendiri. Tidak! Beliau sudah begitu baik menampungku di rumahnya. Aku tinggal
bersamanya selama enam tahun, sebelum akhirnya kembali kepada keluargaku pada
tahun 1968 untuk melanjutkan pendidikan di SMP 409 Seba.
Tanpa
menggunakan alas kaki, aku berjalan menuju ke sebuah sekolah dasar negeri kecil
yang tidak memiliki meja dan kursi sebagai alas untuk duduk dan menulis. Meja
kami hanya terbuat dari pelepah kelapa yang diikat serta dirangkai sedemikian
rupa. Batu tulis berperan sebagai satu-satunya buku untuk mencatat setiap
pelajaran yang kami dengar dan perhatikan. Jika batu tulis itu sudah penuh
terisi oleh tulisan kami, maka kami harus menghapusnya untuk menuliskan kalimat
yang baru lagi. Begitu seterusnya. Memang, fasilitas yang kami miliki sangat
terbatas atau bahkan tidak ada. Namun, itu tidak menjadi alasan utama bagi
kami, apalagi aku, untuk menyerah dalam menuntut ilmu.
Pada
bulan Desember 1972, aku harus keluar dari Sabu dan pindah ke kota Kupang
dikarenakan daerah asalku tidak memiliki gedung SMA beserta fasilitasnya sama
sekali. Bersyukurlah kalian karena jaman sekarang telah diberikan kemudahan
dalam menuntut ilmu, tidak seperti jamanku dulu. Ayah menemaniku menyeberangi
Laut Sawu dengan kapal laut AE 007 menuju kota Kupang. Di sana, aku tinggal
bersama saudara kandung ayah yang adalah seorang polisi.
Seperti
yang sudah kubilang sebelumnya bahwa hidup bersama saudara ayahmu tidak semulus
seperti kau menginap di hotel. Selalu ada pekerjaan yang harus kau lakukan
untuk sekedar menumpang hidup dan tinggal. Membersihkan halaman, mencuci piring
bahkan mengurus minuman, makanan dan kandang kuda harus kulakukan sebagai
bentuk terima kasih dan juga hormat karena telah bersedia menerimaku di
rumahnya. Ketika harus merawat kuda di kandangnya hingga malam, aku membawa
serta beberapa buku pelajaran untuk di baca di sana di bawah lampu yang
temaram. Aku tidak ingin mengenal kata lelah karena telah beraktifitas
seharian. Bagiku, belajar adalah salah satu tonggak keberhasilanku di masa
depan. Aku tidak mau berhenti dan tidak akan pernah berhenti.
Setelah
menamatkan SMA, aku memutuskan untuk masuk ke sekolah pemerintahan sebagai
satu-satunya jalan dan pilihan untuk merajut masa depan, membahagiakan kedua
orang tua dan membangun daerah asalku. Ketika tamat dari sekolah ini pada tahun
1980, aku tidak langsung ditempatkan di kota besar begitu saja. Masih banyak
jalan dan proses yang harus aku lalui untuk bisa sesukses sekarang ini. Kau
tahu? Di NTT masih terdapat banyak desa terpencil dengan akses terbatas dan di
situlah aku ditempatkan untuk pertama kalinya, tepatnya di desa Baulo. Tempat
ini terletak 70 km dari pusat kota Atambua dan untuk menjangkaunya, aku harus
berjalan kaki serta menyeberang Sungai Lakaan.
Kemudian,
selama tahun 1982-1985, aku ditugaskan di daerah baru yang terletak di Adonara
Timur, NTT, dan di sinilah aku banyak mendapatkan pelajaran berharga dari masyarakat
sekitar. Walaupun harus tinggal di balai serba guna yang kosong dengan swadaya
sendiri, tapi aku bahagia bisa mengenal dan duduk di tengah-tengah mereka.
Bercakap-cakap sambil menikmati loma ayam[2]
dan minum dari satu neak[3]
sebagai lambang persahabatan dan persaudaraan, aku bisa mendengar pelbagai
keluh kesah mereka.
Aku
bersyukur pada Tuhan ketika tahun 1986, aku diberikan kesempatan untuk
melanjutkan program sarjana di sebuah institut pemerintahan di Jakarta. Di
tempat ini jugalah, aku bertemu dengan seorang wanita cantik yang kini sudah
mendampingiku selama dua puluh empat tahun dan memberiku tiga bidadari cantik.
Setelah
menyelesaikan kuliah pada tahun 1989, jalan seolah-olah terbuka lebar untukku.
Karirku berkembang pesat. Aku, yang dulunya hanyalah seorang anak dari keluarga
seorang guru yang pas-pasan, kini mendulang kesuksesan yang tiada terkira. Aku
tidak pernah mempermasalahkan berapa penghasilan yang kudapat sebagai ukuran
kesuksesan, tetapi perjuangan, tekad, doa dan peluh keringat yang bercucuran
adalah tolak ukur kesuksesan seseorang. Bila kau mau berusaha untuk sukses,
untuk meraih mimpimu, lakukanlah yang terbaik dan segalanya bisa terjadi.
Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa jalan untuk menuai sukses penuh kerikil
dan terjal. Terlepas dari itu, yang kamu butuhkan adalah kegigihan dan semangat
juang yang tinggi.
Mungkin,
aku bukan Pattimura, Imam Bonjol, atau Presiden Soekarno yang menjadi pahlawan
demi mempertahankan keutuhan RI tercinta . Tapi aku cukup berbangga diri karena
dengan diberikannya kesempatan untuk kembali menjadi seorang abdi negara di
daerah asalku, aku ingin menjadi pribadi yang memiliki peranan penting untuk
memajukan setiap sendi kehidupan di sana. Aku juga akan berusaha sebaik mungkin
untuk mengenalkan surga kecil ini pada setiap orang sebelum masa tugasku
selesai. Ya, surga kecil di pelosok Tanah Air yang harus kau kunjungi bila ada
kesempatan.
***
No comments:
Post a Comment