Tuesday, January 28, 2014

Kisah Ayah



Sebuah surga kecil yang terletak di sebelah selatan perairan Laut Sawu, menjadi tempat bernaungku selama belasan tahun sebelum aku akhirnya hijrah ke Kupang, NTT untuk memulai karir dalam kehidupanku. Lima puluh tujuh tahun yang lalu, aku dilahirkan di sebuah rumah kecil berdindingkan batang bambu yang sudah dibuat sedemikian rupa sehingga kami tidak kepanasan dan kehujanan.

Selama beberapa lama aku hidup bersama keluarga dalam kesederhanaan dan kedisiplinan yang tinggi yang diterapkan oleh ayah. Namun, hidup di daerah yang kekurangan air, kekeringan yang melanda hampir setiap tahun karena curah hujan yang rendah, dan juga penghasilan yang pas-pasan sebagai seorang guru untuk memberi makan enam mulut, memaksa ayah untuk menitipkanku pada seorang paman, saudara ayah, yang tinggal di bagian timur Sabu bernama Bolou. Umurku waktu itu lima tahun. Sebagai seorang anak kecil yang belum mengerti apa-apa, aku menurut saja apa kata ayah walaupun ingin sekali bertanya, “Kenapa kita harus hidup terpisah?”.

Hidup bersama saudara ayahmu bukan berarti kau bisa makan dan tidur seenaknya. Tubuhku yang kecil ini mau tidak mau harus bekerja untuk membantu paman. Dia memang seorang Kepala Sekolah yang tidak memiliki anak, namun bukan berarti aku hanya berpangku tangan dan berpura-pura tidak ada pekerjaan yang harus dilakukan.

Jam lima pagi, aku sudah harus bergegas memikul air dari mata air ke rumah menggunakan haik[1] untuk kebutuhan sehari-sehari seperti minum dan menanak nasi. Segera setelah pekerjaan itu selesai, aku kemudian menuju ke pemandian umum, Lokoimada, untuk menyegarkan tubuh sesaat sebelum ke sekolah. Setiap hari rutinitas ini kujalankan tanpa mengeluh, tanpa putus asa ataupun mencaci maki pamanku sendiri. Tidak! Beliau sudah begitu baik menampungku di rumahnya. Aku tinggal bersamanya selama enam tahun, sebelum akhirnya kembali kepada keluargaku pada tahun 1968 untuk melanjutkan pendidikan di SMP 409 Seba.

Tanpa menggunakan alas kaki, aku berjalan menuju ke sebuah sekolah dasar negeri kecil yang tidak memiliki meja dan kursi sebagai alas untuk duduk dan menulis. Meja kami hanya terbuat dari pelepah kelapa yang diikat serta dirangkai sedemikian rupa. Batu tulis berperan sebagai satu-satunya buku untuk mencatat setiap pelajaran yang kami dengar dan perhatikan. Jika batu tulis itu sudah penuh terisi oleh tulisan kami, maka kami harus menghapusnya untuk menuliskan kalimat yang baru lagi. Begitu seterusnya. Memang, fasilitas yang kami miliki sangat terbatas atau bahkan tidak ada. Namun, itu tidak menjadi alasan utama bagi kami, apalagi aku, untuk menyerah dalam menuntut ilmu.

Pada bulan Desember 1972, aku harus keluar dari Sabu dan pindah ke kota Kupang dikarenakan daerah asalku tidak memiliki gedung SMA beserta fasilitasnya sama sekali. Bersyukurlah kalian karena jaman sekarang telah diberikan kemudahan dalam menuntut ilmu, tidak seperti jamanku dulu. Ayah menemaniku menyeberangi Laut Sawu dengan kapal laut AE 007 menuju kota Kupang. Di sana, aku tinggal bersama saudara kandung ayah yang adalah seorang polisi.

Seperti yang sudah kubilang sebelumnya bahwa hidup bersama saudara ayahmu tidak semulus seperti kau menginap di hotel. Selalu ada pekerjaan yang harus kau lakukan untuk sekedar menumpang hidup dan tinggal. Membersihkan halaman, mencuci piring bahkan mengurus minuman, makanan dan kandang kuda harus kulakukan sebagai bentuk terima kasih dan juga hormat karena telah bersedia menerimaku di rumahnya. Ketika harus merawat kuda di kandangnya hingga malam, aku membawa serta beberapa buku pelajaran untuk di baca di sana di bawah lampu yang temaram. Aku tidak ingin mengenal kata lelah karena telah beraktifitas seharian. Bagiku, belajar adalah salah satu tonggak keberhasilanku di masa depan. Aku tidak mau berhenti dan tidak akan pernah berhenti.

Setelah menamatkan SMA, aku memutuskan untuk masuk ke sekolah pemerintahan sebagai satu-satunya jalan dan pilihan untuk merajut masa depan, membahagiakan kedua orang tua dan membangun daerah asalku. Ketika tamat dari sekolah ini pada tahun 1980, aku tidak langsung ditempatkan di kota besar begitu saja. Masih banyak jalan dan proses yang harus aku lalui untuk bisa sesukses sekarang ini. Kau tahu? Di NTT masih terdapat banyak desa terpencil dengan akses terbatas dan di situlah aku ditempatkan untuk pertama kalinya, tepatnya di desa Baulo. Tempat ini terletak 70 km dari pusat kota Atambua dan untuk menjangkaunya, aku harus berjalan kaki serta menyeberang Sungai Lakaan.

Kemudian, selama tahun 1982-1985, aku ditugaskan di daerah baru yang terletak di Adonara Timur, NTT, dan di sinilah aku  banyak  mendapatkan pelajaran berharga dari masyarakat sekitar. Walaupun harus tinggal di balai serba guna yang kosong dengan swadaya sendiri, tapi aku bahagia bisa mengenal dan duduk di tengah-tengah mereka. Bercakap-cakap sambil menikmati loma ayam[2] dan minum dari satu neak[3] sebagai lambang persahabatan dan persaudaraan, aku bisa mendengar pelbagai keluh kesah mereka.

Aku bersyukur pada Tuhan ketika tahun 1986, aku diberikan kesempatan untuk melanjutkan program sarjana di sebuah institut pemerintahan di Jakarta. Di tempat ini jugalah, aku bertemu dengan seorang wanita cantik yang kini sudah mendampingiku selama dua puluh empat tahun dan memberiku tiga bidadari cantik.

Setelah menyelesaikan kuliah pada tahun 1989, jalan seolah-olah terbuka lebar untukku. Karirku berkembang pesat. Aku, yang dulunya hanyalah seorang anak dari keluarga seorang guru yang pas-pasan, kini mendulang kesuksesan yang tiada terkira. Aku tidak pernah mempermasalahkan berapa penghasilan yang kudapat sebagai ukuran kesuksesan, tetapi perjuangan, tekad, doa dan peluh keringat yang bercucuran adalah tolak ukur kesuksesan seseorang. Bila kau mau berusaha untuk sukses, untuk meraih mimpimu, lakukanlah yang terbaik dan segalanya bisa terjadi. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa jalan untuk menuai sukses penuh kerikil dan terjal. Terlepas dari itu, yang kamu butuhkan adalah kegigihan dan semangat juang yang tinggi.

Mungkin, aku bukan Pattimura, Imam Bonjol, atau Presiden Soekarno yang menjadi pahlawan demi mempertahankan keutuhan RI tercinta . Tapi aku cukup berbangga diri karena dengan diberikannya kesempatan untuk kembali menjadi seorang abdi negara di daerah asalku, aku ingin menjadi pribadi yang memiliki peranan penting untuk memajukan setiap sendi kehidupan di sana. Aku juga akan berusaha sebaik mungkin untuk mengenalkan surga kecil ini pada setiap orang sebelum masa tugasku selesai. Ya, surga kecil di pelosok Tanah Air yang harus kau kunjungi bila ada kesempatan.
***



[1] Wadah penampungan air yang terbuat dari daun lontar
[2]  Ayam yang dikukus dalam bambu dan dicampur bumbu
[3] Tempat minum air lontar yang terbuat dari tempurung kelapa

No comments:

Post a Comment