Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya. Lagi-lagi
Nina memandang kesal foto kekasihnya. Sudah tiga hari Virza tidak
menghubunginya. Sebagai seorang cewek, tentunya banyak perasaan negatif yang
malang melintang di pikiran dan hatinya. Bisa saja kan saat ini Virza tengah
berduaan dengan cewek lain sambil menikmati dua cangkir cokelat panas, atau
menikmati sofa yang empuk dan hangat, atau bisa saja sedang menikmati keindahan
alam Bogor. Buru-buru Nina menggeleng keras kepalanya, mengusir segala kegalauan
yang hinggap di benaknya.
“Kamu gak kangen aku, ya? Bisa-bisanya tiga hari ini kamu
nyuekin aku.” Nina mendesah berat sambil mengelus foto Virza. Tubuhnya yang
dibalut selimut putih perlahan bergetar. Pipinya yang merah perlahan basah oleh
air mata. Siapa sih yang tidak sedih ditinggal cowoknya, bahkan tak ada kabar
sekalipun?
“Susahnya apa sih hubungin aku? Aku telepon, hapemu mati.
Nanya temen-temenmu, gak ada yang tau. Trus aku harus gimana?” Nina menundukkan
kepala di atas kedua lututnya. Hari-hari terasa berat buat dijalanin. Biasanya
ada yang ngucapin selamat pagi, kini bahkan untuk selamat makan pun belum
terdengar lagi.
YY
“Kalo aku ngelarang kamu pergi, pasti kamu bakal tetap
pergi kan?” Nina menatap Virza dengan pandangan nanar.
Virza tersenyum lalu meraih tangan Nina. “Aku kan di sana
kerja. Gak mungkin aku bakal nglirik cewek lain. Aku nglakuin ini buat masa
depan kita.” Ia mengangkat salah satu tangannya untuk merapikan poni Nina yang
menutupi hampir sebagian matanya.
Buat yang suka berteori, hubungan jarak jauh gampang buat
dijalanin. Saat ini kita hidup di jaman serba modern, bukan lagi jaman purba.
Semua serba ada dan gak mustahil lagi. Mungkin suatu saat di masa depan akan
tercipta sapu terbang yang bukan saja ada di Harry Potter atau Hansel and
Gretel. Yeah, satu langkah untuk menghemat bahan bakar dan juga biaya. Intinya,
menjalani hubungan jarak jauh bukanlah suatu masalah besar bagi pasangan.
Komunikasi yang sering menjadi masalah pun saat ini bisa diatasi melalui Skype,
Facebook, Twitter, telepon, atau apa pun itu. Sedangkan untuk yang gak suka
dengerin teori, menjalani hubungan jarak jauh itu adalah hal yang sulit. Emang
bener sih jaman ini serba modern, tapi komitmen itu adalah hal yang paling
mendasar dalam suatu hubungan. Kalau satunya udah gak bisa memegang komitmen,
lantas apa masih fine, fine aja buat
dijalanin? Kalau pengen nyiksa batin trus, sih, silakan saja.
Hal ini yang dialami Nina saat ini. Dia harus ngerelain
Virza yang sebentar lagi akan hijrah ke Ibu Kota untuk mencari sesuap nasi. Nina
yakin dirinya setia, bisa menjaga komitmen, tapi bagaimana dengan Virza? Cowok
ini dikenal sebagai seorang playboy di kampus. Entah bagaimana, dia menjatuhkan
hatinya untuk Nina, seorang gadis yang memang cantik, tapi sama sekali tidak
masuk dalam daftar target perburuan para playboy. Nina khawatir kalau-kalau
Virza sampai jatuh hati pada seorang gadis Ibu Kota dan mengingkari semua janji
yang sudah disepakati bersama. Jujur ia belum atau sama sekali tidak siap untuk
itu. Ia terlampau menyayangi Virza.
“Percaya sama aku, aku gak bakal macam-macam. Kamu bisa
ke Jakarta ngunjungin aku atau kalo libur, aku bakal balik Jogja buat jenguk
kamu.” Virza mengusap pipi Nina dengan telunjuknya kemudian mengecup bibirnya
sekilas. Kalau sudah begini, hati cewek mana yang gak akan terenyuh? Termasuk
Nina.
Nina hanya mengangguk pelan, tapi dalam hati perasaan
khawatir itu mulai tumbuh sedikit demi sedikit. Entah bagaimana, perasaan takut
akan kehilangan mengakar tanpa Nina sadari.
YY
“Virza masih belum hubungin kamu juga?” tanya Viola,
sahabat Nina, lalu menyeruput strawberry
smoothies-nya. Nina hanya mengangkat bahunya sambil menyuapi mulutnya
dengan sesendok original yoghurt.
Saat itu hari Sabtu. Bukan jatah Viola maupun Nina untuk
bekerja ekstra keras mengumpulkan pundi-pundi. Mereka hanya manusia dan rehat
sejenak itu penting kalau otakmu tidak ingin sekarat saat ini juga.
Salah satu pusat perbelanjaan di kota Jogja cukup ramai
saat ini. Selain karena hari ini ‘tanggal muda’, juga harinya pasangan
muda-mudi memadu kasih. Oke, jujur saja Nina merasa iri jika melihat pasangan
yang sedang berjalan mesra. Huftt,
kalau saja Virza tidak bekerja di Jakarta, mungkin saat ini ia bisa menggandeng
tangannya dan menghabiskan malam minggunya dengan tenang. Tidak seperti
sekarang ini. Total sudah empat hari Virza tidak menghubunginya. Sebenarnya
anak itu kenapa sih? Nggak ada kabar, tiba-tiba hilang kontak.
“Kamu gak capek, Nin, jalanin hubungan kayak gini?
Bukannya nakut-nakutin atau gak dukung hubunganmu sama Virza, tapi kamu tau
sendiri kan orangnya kayak gimana. Aku hanya gak mau kamu disakitin.” Viola
memasang tampang serius.
“Kamu tau Anto kan? Dia gak apa-apa tuh sama Dinda.
Hubungan mereka baik-baik aja walaupun Anto dulunya hampir mirip sama Virza, playboy kelas kakap.”
“Yaaa, itu kan Anto, Nin, bukan Virza. Gak ada yang
bilang Virza gak bisa berubah. Dia pasti bisa berubah, tapi kan kita gak tau
kapan. Jangan terlalu sayang seratus persen, bisa-bisa cuma sakit yang kamu
dapat kalo kenyataannya gak sesuai harapanmu.”
Nina meletakkan cup
original yoghurt-nya dengan cukup kasar. “Ahh, udahlah, Vi. Omongan kamu
cuma bikin aku sama Virza berantem. Kamu mau aku punya pikiran buruk tentang
dia dan itu jadi alasan buat aku terus marah-marah sama dia? Iya?”
Viola melotot, gak tahu kenapa bisa jadi begini. Niat
awalnya cuma ingin ngasih saran aja buat Nina, tapi kenapa Nina malah jadi
nyolot begini? “Bukan, Nin, bukan. Aku gak ada niat buat bikin kamu sama Virzha
berantem. Aku ngasi masukan aja. Kalo kamu gak suka, ya, udah. Gak usah pake
marah-marah juga. Dicuekin aja aku gak apa-apa, kok.” Kali ini Viola berniat
mengunci rapat-rapat bibirnya, takut salah bicara lagi.
“Sorry.” Hanya
kata itu yang terucap dari bibir Nina. Kembali ia memasukkan satu sendok yoghurt yang dinginnya kali ini serasa
melukai tenggorokannya.
YY
Nina memberhentikan motor matic-nya di depan sebuah gedung tua yang tampaknya sudah berumur
puluhan tahun. Terlihat cukup banyak orang yang berhamburan ke sana kemari. Ada
yang membawa banyak buku serta tas punggung yang tampaknya cukup berat, ada
yang datang dengan dandanan heboh dari kepala hingga ujung kaki, dan ada juga
yang datang dengan pakaian ala kadarnya, kemeja kotak-kotak yang menutupi kaos
putih polos di dalamnya.
Sejenak Nina tersenyum. Gedung ini, kampus ini, adalah
tempat pertama kalinya Nina bertemu Virza. Virza yang dulunya masih memiliki
kekasih dan Nina yang sama sekali tidak peduli akan kehadirannya. Namun, entah
bagaimana, Virza diam-diam mengamati sosok Nina walaupun saat itu ia sedang
menjalin hubungan dengan Amel, kekasih yang sudah dipacarinya selama empat
tahun. Sampai suatu hari Virza mencoba mendekati Nina dan mengajaknya ngobrol.
Sudah tentu terbesit sedikit rasa penasaran dalam hatinya untuk mengenal sosok
Nina lebih jauh. Sayang saat itu Nina sedang terbuai dengan kakak kelasnya yang
bisa dibilang tampan juga. Jadi, ia sama sekali tidak menaruh rasa penasaran
yang cukup besar untuk Virza.
Hubungan mereka sebelum akhirnya mengikrarkan kata jadian
terbilang berjalan tidak terlalu mulus. Di saat Nina akhirnya ingin mengenal
Virza lebih jauh lagi, ada Rina di antara mereka. Rina memasuki kehidupan Virza
dan menawarkan secangkir cinta untuknya. Virza yang nggak tahan kalo nggak
pacaran, akhirnya menerima hati Rina walaupun beberapa bulan kemudian hubungan
mereka kandas. Sebaliknya, di saat Virza ingin kembali mendekati Nina, sudah
ada sosok Ryan yang menaungi hatinya. Lagi-lagi sang cinta sepertinya tengah
mempermainkan mereka. Hingga suatu hari hubungan Ryan dan Nina kandas di tengah
jalan dan Virza tanpa permisi mulai bermain-main dengan hati Nina.
Nina menolehkan kepalanya ke sudut kiri. Ada sebuah pohon
besar yang cukup rindang tumbuh di sana. Kenangan itu muncul begitu saja. Nina
seolah-olah melihat Virza yang sedang menungguinya di bawah pohon dan beberapa
saat kemudian sosok Nina yang tengah memakai jaket jeans berjalan tergopoh-gopoh sambil membawa kamus yang cukup
besar. Virza tersenyum lalu menyambutnya dengan kecupan kecil di kening,
kemudian mengambil alih kamus itu dari tangan Nina. Ah, kenangan yang sangat
manis. Waktu ternyata berjalan dengan cukup cepat saat ini.
Nina kembali menyalakan motornya dan melaju dengan
kecepatan yang tidak terlalu tinggi. Perlahan pipinya kembali basah. Berapa
lama lagi dia harus menahan ini semua?
YY
Kring! Kring!
“Kamu
ke mana aja selama ini? Kenapa baru sekarang nelpon?” Tanpa basa-basi, Nina
segera memberondongnya dengan pertanyaan begitu melihat nama Virza tertera di
layar ponselnya.
“Maaf, ya, Sayang. Ponsel aku rusak, jadi harus nginap
selama tiga hari di tempat servis.” Suara Virza tetap terdengar lembut di ujung
sana.
Nina menarik napas panjang. “Beneran karena rusak? Kamu
gak lagi boongin aku, kan?”
“Hahaha. Ngapain aku boongin kamu? Emang ponselku rusak. Aku
baru ngambil tadi sore pas pulang kerja. Maaf, ya, Sayang. I love you.” Virza mengeluarkan jurus andalannya. Besar kemungkinan
Nina akan memaafkannya jika kata-kata sakti ini keluar dari mulutnya, dan
memang benar. Seutas senyum sedang tersungging manis di bibirnya yang merah.
“Yang, sabtu besok aku boleh ngunjungin kamu ke Jakarta?
Boleh, ya? Aku kangen banget sama kamu.”
“Sabtu? Kayaknya aku lembur. Takutnya aku gak bisa
nemenin kamu jalan-jalan.” Virzha terdengar sedikit gelagapan.
“Yaahh, tapi apa susahnya sih ngluangin waktu sedikit aja
buat ketemu aku? Kamu gak kangen sama aku? Apa jangan-jangan udah ada cewek
lain di sana jadi kamu gak mau aku ke Jakarta?” Napas Nina tampak memburu.
“Enggak, bukan gitu, Sayang. Aku bener-bener lembur. Kamu
harus percaya sama aku kalo aku gak punya cewek lain di sini selain kamu.”
Jauh di dalam lubuk hati Nina, dia ingin memercayai
kata-kata Virza. Namun, entah kenapa, kata-kata itu seperti tameng untuk
menutupi keburukan Virza. Juga terdengar seperti sebuah larangan secara tidak
langsung kalau Nina nggak boleh ke Jakarta.
“Aku mau ke Jakarta, Za.”
“Ya, sudah kalau begitu. Nanti aku coba ngomong sama bos
aku. Moga aja dia ngijinin.”
“Thanks.”
Percakapan yang berlangsung sekitar sepuluh menit itu
kemudian terputus dan menyisakan begitu banyak tanya di benak Nina.
YY
Pukul sembilan pagi Nina sudah duduk manis di ruang
tunggu Stasiun Tugu, padahal keretanya baru akan berangkat pukul dua belas siang.
Tampaknya dia sangat bersemangat untuk menemui Virza. Seminggu tidak dihubungi
dan kali ini bisa mengunjunginya di Jakarta, tentu saja tidak akan disia-siakan
Nina.
Yang, ak
brangkt k jkt’y sma tmn cowokku.
Dy udh pny
istri, kok.
Jd, qta ga
mungkin macem2 J
Sent to:
Virza
Sepuluh, dua puluh, tiga puluh menit sudah berlalu, tapi
belum ada satu balasan pun dari Virzha. Nina hanya mengedikkan bahu, ya, sudah, mungkin dia lagi sibuk.
Lagi-lagi senyum kecil sudah terparkir manis di bibirnya. Pertemuannya dengan
Virza sungguh membuatnya tidak bisa tidur. Ia sibuk memikirkan baju apa yang
pantas dikenakan supaya terlihat lebih cantik di mata Virza. Apakah harus
dandan, atau beli sepatu baru, atau mungkin tas baru? Hahaha. Padalah cuma mau ketemu Virza, tapi malah seheboh ini,
batin Nina.
“Hei, udah lama kamu nunggunya?” sapa Dhani, teman
sekantor Nina. Ya, dia ini yang akan menjadi teman di sepanjang perjalanan Nina
menuju Jakarta. Kebetulan istrinya juga bekerja di Jakarta dan mau gak mau
keduanya harus bergiliran untuk saling mengunjungi.
“Hahaha. Iya, nih. Aku udah di sini dari jam sembilan
tadi.”
Ekspresi kaget Dhani tampak jelas di wajahnya. “Kamu
ngapain di sini dari jam sembilan? Keretanya kan baru berangkat jam dua belas.”
Nina hanya mengedikkan bahunya lalu tertawa renyah.
“Cieehh, yang nggak sabar pengen liat cowoknya. Makanya ngetem di stasiun dari jam sembilan.
Hahaha.”
“Bisa aja kamu, Mas. Hahaha.”
YY
“Besok jadi, kan, kita ketemuan?”
“Jadi, kok,” jawab Virza pendek.
“Ya, udah, ketemuan di Blok M jam sepuluh, ya.”
“Lho, kok, jam sepuluh? Aku masih lembur. Jam dua aja,
ya, Sayang.”
“Ya, udah, deh, terserah kamu aja.” Nada kecewa terdengar
cukup jelas dari suara Nina. Hanya besok waktu yang dia miliki untuk bisa
bertemu Virza. Sisanya dia harus kembali ke Jogja dan Virza tidak mungkin
membolos dari pekerjaannya hanya untuk menemani Nina menghabiskan liburannya di
Ibu Kota.
“Maaf, ya, Sayang. Tapi aku janji bakal datang tepat
waktu, kok.”
“Iya.”
Beberapa saat kemudian telepon terputus. Nina menarik
napas berat sambil mendekap gulingnya. Benar-benar membosankan. Di saat matanya
masih terbuka lebar dan rasa kantuk belum memilih untuk bersarang dalam
dirinya, Eka, sepupu ceweknya, sudah tidur. Padahal, dia ingin sedikit saja
menuangkan rasa kesalnya pada Eka. Sempat terpikir untuk menelepon Viola, tapi
rasanya tidak mungkin. Kemarin mereka sempat beradu mulut soal Virza dan
meneleponnya hanya untuk curhat tentu sangat tidak mengenakkan.
Semoga saja apa
yang dikatakan Viola nggak bener. Virza cowok baik, kok. Iya, dia baik.
Perlahan Nina mencoba untuk memejamkan matanya dan berusaha memikirkan yang
baik tentang Virza. Ia ingin penampilannya benar-benar fresh saat bertemu Virza besok.
YY
Ini sudah yang kesepuluh kalinya Nina mencoba menghubungi
Virza dan lagi-lagi tidak ada jawaban yang terdengar di ujung sana. Virza
sendiri yang bilang akan menemuinya jam dua, tapi ini sudah jam empat dan
batang hidungnya belum juga tampak. Kesal, marah, sebal, bercampur aduk menjadi
satu. Nina tahu Jakarta itu identik sama macet, tapi bukan berarti Virza
mengacuhkan teleponnya begitu saja.
Nina mengecek BBM-nya. Tanda R yang berarti Read terpampang begitu jelas di ruang chat-nya bersama Virza, tapi tetap
saja tak ada balasan darinya. Ke mana,
sih, anak ini? batin Nina kesal lalu mendudukkan tubuhnya di sebuah bangku
yang memang sengaja disediakan pengelola mal agar pengunjung bisa beristirahat
sejenak. Sekali lagi Nina mencoba menghubungi Virza. Namun, tetap saja hanya
nada terhubung yang terdengar.
Beberapa saat kemudian sesosok pria berpostur besar,
tinggi, dan tegap melangkah masuk area mal dan menuju sebuah bangku tempat Nina
saat ini duduk.
“Maaf, lama banget, Yang. Kejebak macet dan bosku baru
ngijinin jam satu tadi. Maaf, ya.”
Nina melihat Virza dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Ada sesuatu yang tampak ganjil di sini.
“Kok kamu pake kaos? Bukannya kantormu gak ngebolehin
pake kaos, ya. Aku masih ingat saat kamu nyuruh aku pake kemeja waktu mau
ngunjungin kantormu. Katanya aku harus rapi. Kalo gak, gak bakalan dibolehin
masuk.” Nina mengerutkan keningnya.
Virza berjalan ke samping Nina lalu duduk. “Kamu, kan,
orang luar, jadi harus rapi, sedangkan aku orang dalam. Jadi, gak apa-apa aku
pake kaos. Lagian, kan, hari ini sabtu jadi pake kaos pun gak masalah.” Ia
tersenyum manis.
“Oh, gitu, ya?” Nina mengangguk-anggukkan kepalanya dengan
pelan. Walaupun penjelasan Virza sedikit masuk akal, tetap saja ada yang nggak
beres. Nina nggak mungkin segampang itu menerima kata-kata Virza.
Secara
tidak sengaja mata Nina menangkap sebuah objek yang tersimpan rapi di dalam
tas. “Kok bawa topi? Di dalam kantor ada matahari, ya, sampai-sampai harus pake
topi segala.” Oke, kata-kata Nina kali ini terdengar cukup sinis. Sepertinya
ini adalah hasil akumulasi dari perasaan marahnya yang menunggu Virza
berjam-jam dan juga pikiran buruk yang menghantuinya akhir-akhir ini.
“Hahaha.
Kamu sinis banget, sih, nanyanya?” Virza mencubit hidung Nina. “Topi ini gak
pernah aku keluarin dari tas. Jadi, wajar aja tersimpan di sini terus.”
Lagi-lagi
Nina hanya menganggukkan kepalanya perlahan. Perasaan takut kehilangan semakin
menyeruak dalam benak dan juga hatinya. Apa
ini? batin Nina.
“Kamu
kenapa, Yang?” Virza mengarahkan wajahnya agar bisa melihat Nina lebih dekat
lagi.
Nina
menggelengkan kepalanya. “Gak apa-apa. Yuk, makan. Aku udah lapar banget
gara-gara nungguin kamu berjam-jam.”
YY
Keheningan
itu terasa menyesakkan bagi Nina. Ia tidak tahu harus mulai dari mana, padahal
sebelumnya Nina sudah menyusun begitu banyak kata untuk diucapkan. Namun, skenario
itu seolah-olah menguap dan menghilang entah ke mana. Di hadapannya Virza masih
menunggu dalam diam. Sesekali ia memiringkan kepalanya ke kiri sambil
pandangannya terus menatap Nina lekat-lekat.
“Kamu
mau ngomong apa?” Akhirnya Virza bersuara, mengusir keheningan yang sedari tadi
menaungi kamar kosnya.
“Ehmm,
sebenarnya aku jenuh dengan hubungan ini. Kamu yang di Jakarta dan aku yang di
Jogja. Capek gak sih jalanin hubungan kayak gini?” Nina tidak berani
menengadahkan wajahnya untuk menatap Virza. Setelah dipikir-pikir, merupakan
suatu kesalahan berkata seperti ini. Namun, ini harus dilakukan. Nina harus
mengungkapkan segala keluh-kesahnya selama ini.
“Maksudmu?”
“Yaaa,
kamu capek gak sih hubungan jarak jauh? Tiap kali aku butuh kamu, kamu selalu
gak bisa. Kamu sibuk kerja lah, sibuk lembur lah. Tiap kali aku mau nelpon
kamu, kamu bilangnya gak usah karena capek, pengen tidur. Entah kenapa, aku
ngerasa yang berusaha untuk mempertahankan hubungan ini hanya aku. Kamu sama
sekali nggak, kamu pasif. Yang nelpon juga aku, yang insiatif buat nanya kabar
juga aku. Semenjak kamu kerja di sini, kamu berubah. Nyadar gak sih aku tuh ada
cuma pas kamu lagi butuh doang. Setelah itu, kamu ninggalin aku, lupa kalau
punya aku dan itu nyakitin.”
“Aku
bener-bener gak ngerti maksud kamu. Aku sama sekali gak ngerasa manfaatin kamu
atau ingat kamu pas lagi butuh aja. Itu nggak bener, Yang.”
Nina
menarik napas panjang. “Aku pinjam hape kamu.”
Virza
terkejut lalu terdiam dan beberapa saat kemudian mengangsurkan handphone-nya pada Nina.
Nina
tidak tahu harus melakukan apa, tapi ibu jarinya seolah-olah tahu harus
bertindak seperti apa. Dibukanya Whatsapp Virza dengan segera. Seketika itu
juga dunia seolah-olah tidak lagi bersahabat dengannya. Waktu seakan berhenti.
Hanya ada ruang kosong bersama dirinya di sana.
Rina. Satu nama itu yang sangat dibenci Nina.
Satu nama itu yang dulu sempat diperjuangkan Virza habis-habisan agar tidak
lagi mengganggu kehidupannya juga percintaannya dengan Nina. Satu nama itu yang
ingin Virza lupakan seumur hidup. Tapi, kenapa nama itu kini hadir lagi? Dengan
berjuta kata mesra dan foto bergambar dirinya yang sedang memakai gaun pemberian
Virza saat masih bersama? Apa maksud semua ini? Dan kenapa Virza masih berhubungan
dengannya, bahkan mencoba meneleponnya saat ia berkata tidak memiliki waktu
cukup banyak untuk bercakap bersama Nina? Kenapa? Kenapa dia harus melakukan
ini di saat rasa sayang Nina tumpah begitu banyak untuknya?
“Apa
kamu lupa, Za, dengan semua itu? Kamu lupa saat Rina nyakitin aku, nyakitin kamu,
nyakitin semua keluargamu, apa kamu lupa? Kamu lupa apa yang udah kamu
perjuangin agar dia pergi dari hidup kamu? Kenapa kamu masih berhubungan sama
dia? Kurangku apa?” Nina berteriak histeris. Tangannya masih menggenggam erat
ponsel Virza. Virzha hanya terdiam dengan tampang pucat dan tangan yang terasa
dingin.
“Dan
juga kalian udah putus, tapi kenapa masih manggil nama kesayangan
masing-masing? Ini yang kamu sebut temen? Iya? Udah puas sekarang kamu nyakitin
aku? Kamu sama dia sama aja. Sama-sama brengsek!” Kali ini Nina menatap Virza
dengan tatapan benci, marah, kesal, serta apa pun itu yang kini merayap di
hatinya. Tanpa menunggu jawaban Virza, ibu jari Nina menelusuri galeri foto.
Baru saja hendak dibuka, tangan kokoh Virza merebutnya.
“Kenapa?
Ada yang kamu sembunyikan dari aku?”
“Nggak,
nggak ada. Nggak ada apa-apa di sini.” Terlihat jari-jari Virza yang bergerak
cepat seolah-olah sedang menghapus beberapa foto yang mungkin saja bisa membuat
Nina naik pitam.
“Kalo
gak ada apa-apa, harusnya kamu gak takut. Kemarikan handphone-mu!” Tangan Nina hendak merebut ponsel Virza, tapi Virza
bergerak lebih cepat dibanding Nina.
“Sudah
kubilang nggak ada apa-apa!” Kali ini suara Virza meninggi.
Nina
sedikit kaget dengan reaksi yang diberikan Virza. Untuk sesaat, ia terdiam.
“Sepertinya
cukup sampai di sini, Za.” Nina menengadahkan kepalanya menatap Virza. Ia tidak
lagi memanggilnya dengan sebutan ‘Sayang’. Baginya sebutan itu sudah tidak
pantas lagi disematkan pada Virza, seorang lelaki yang bahkan tidak bisa menepati
janjinya untuk terus bersama. Nina tidak ingin sakit lagi di kemudian hari.
Cukup sekali ini saja sakit yang ia rasakan. Ia tidak ingin tumbuh dengan rasa
sakit yang berulang jika memilih untuk menghabiskan hidup dengannya.
“Nin,
please. Aku masih sayang sama kamu.
Aku gak mau kamu pergi dari hidup aku. Tolong kasih aku kesempatan sekali lagi
buat ngebuktiin kalo aku bener-bener pengen berubah, bener-bener pengen
ngebahagiain kamu. Aku tau aku salah, tapi jujur aku gak bisa kehilangan kamu.”
Virza meraih tangan Nina.
Nina
tersenyum di sela bulir-bulir air mata yang terus mengalir. “Nggak, Za, kita
udah gak bisa lagi.” Ia perlahan melepaskan tangannya dari genggaman Virza. “Kita
lebih baik pisah karena kalo lanjut, aku takut kesempatan kamu buat nyakitin
aku semakin besar.”
“Enggak,
Nin, aku mohon. Aku minta maaf. Aku janji aku bisa berubah” Virza menampakkan
wajahnya yang sarat penyesalan. Ia mencoba meraih kepala Nina, tapi Nina
bergerak menjauh.
“Iya, aku tau kamu bisa berubah, tapi
perubahan itu bukan untuk aku, tapi untuk orang lain yang bisa nerima kamu apa
adanya. Orang itu pasti bakalan beruntung milikin kamu yang udah berubah. Tapi,
maaf, Za, aku udah nggak bisa walaupun jujur aku masih sayang banget sama kamu.
Maaf, Za. Tolong lepasin aku, please.”
Hening.
Virza hanya bisa terdiam dan tertunduk lesu. Jauh dalam lubuk hatinya ia
benar-benar merasa bersalah pada Nina, tapi Virza juga nggak bisa membohongi
hatinya yang masih menyimpan sedikit cinta untuk Rina. Sosok itu kembali datang
beberapa hari yang lalu dan menggoyangkan perasaannya pada Nina. Ia hadir dan
menawarkan berjuta janji ingin merajut kembali asa yang sempat terputus dulu.
Bahkan ia tidak peduli dengan posisi Virza yang saat ini telah memiliki
kekasih. Bagi Virza, hadirnya Rina saat ia jauh dari Nina sungguh merupakan
oase yang menyegarkan dan tiga hari yang dihabiskannya bersama Rina di Bogor
kembali menguatkan perasaan cintanya yang dulu sempat mati.
Nina
menggerakkan kakinya perlahan lalu memutar tubuhnya menjauh dan keluar dari kamar
Virza. Ia menangis sesenggukan dan setengah berlari mencoba melupakan semua
yang telah terjadi. Biar saja orang-orang yang kini menatapnya berpikir dia
gila. Ya, dia gila karena cinta. Dia gila karena pengkhianatan. Dia gila karena
kebohongan. Lelaki yang begitu dicintainya memilih untuk menengok ke masa lalu
dan berdiam di sana.
Virza.
Lelaki yang seharusnya menjadi bagian dari masa depannya, kini telah menjadi
bagian dari masa lalunya. Mungkin saja Nina akan menemukan cinta yang baru,
tapi ia tidak tahu seberapa banyak makhluk bernama lelaki itu bisa dipercaya.