Wednesday, November 26, 2014

Sedikit Hal Penting untuk Menulis Novel


(http://www.woroni.com.au/wp-content/uploads/2013/07/Gus.jpg)



Saya tanya dulu deh, siapa yang suka novel? Tentunya hampir semua orang suka novel. Walaupun terkadang sebagian orang ada yang bilang "Ngapain sih baca novel? Ga mutu! Mending baca koran atau nonton berita." Eitss, jangan salah! Dari novel, kita bisa tahu kebudayaan suatu negara (kalau yang kamu baca itu novel terjemahan), sejarah indonesia atau bangsa-bangsa lain, dan masih banyak lagi ragam informasi yang bisa didapat dari sana. Dan untuk membuat sebuah masterpiece, tentu membutuhkan waktu, tenaga, dan juga yang paling penting riset. Gak mungkin kan sebuah novel masterpiece digarap tanpa adanya dukungan riset berupa data-data? walau novel ringan sekalipun.

Memang menulis dan menghasilkan satu judul novel merupakan kebanggaan tersendiri. Siapa sih yang nggak seneng melihat hasil karyanya nongol di rak-rak toko buku seluruh Indonesia? Belum lagi kalau novelmu booming dan diminta untuk mengadakan acara meet and great. Wow! Itu menakjubkan! Tapi, menulis novel bukan sekadar niat, waktu, dan tenaga. Seperti yang saya bilang tadi, novel yang baik nggak terlepas dari penelitian yang menghasilkan data-data sehingga karyamu bukan saja menarik di mata pembaca, tapi juga memperkaya wawasan mereka.

Selama bekerja di dunia percetakan dan penerbitan, kerap kali menemukan naskah novel yang menurut saya belum matang, tapi entah kenapa diterima begitu saja--yeah, well, kami tidak diajak dalam rundingan menentukan novel ini layak diterima atau tidak. Maaf, kalau sedikit curcol tapi memang itu kenyataannya. Jadi tim kami hanya menyunting naskah yang sudah masuk dan dinyatakan layak cetak oleh atasan. 

Kembali pada topik. Jadi, intinya novel-novel yang kami sunting masih sangat kurang dari unsur tema, konflik, pembentukan karakter, bahkan cerita. Ada beberapa novel yang tidak tahu ingin menceritakan apa, ingin menggambarkan apa di bagian prolog atau bab 1. Maaf, jika kasar, tapi sebagai penyunting saja kami sudah malas membacanya, apalagi pembaca itu sendiri?

Unsur-unsur intrinsik dalam novel sangat penting untuk diingat. Novel tidak hanya sekadar untaian kalimat lalu disusun menjadi cerita, kemudian dijilid dan blaamm dijual di toko-toko buku. Kalau novelmu tidak menarik, untuk apa kami membeli novel kedua, ketigamu, dst? Karena kami (pembaca) tidak bisa menjamin karyamu berikutnya akan lebih bagus atau lebih buruk.

Belakangan ini yang laris di pasaran adalah novel bertemakan Korea atau K-pop. Kebetulan saya baru saja selesai menyunting tiga novel sekaligus. Tentunya ketiga novel ini memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri (maaf, tidak bisa menyebutkan judul-judul novelnya karena sedang dalam proses cetak :D ). Novel pertama mengangkat tema kakak-adik (laki-laki dan perempuan) yang memiliki sifat serupa. Keduanya juga mengalami perasaan jatuh cinta dengan lawan jenis pada waktu bersamaan. Sayangnya judul sama sekali tidak mencerminkan isi novel yang lebih banyak menceritakan tentang tokoh adik, sedangkan si kakak hanya sebagai pelengkap. Juga konflik yang dibangun masih terlalu dangkal, sebatas permukaan saja. Saya bahkan tidak tahu konflik puncak seperti apa yang membuat kehidupan si adik carut-marut. Tiba-tiba saja dia sudah begini, tiba-tiba saja sudah begitu. Baiknya konflik dibuat dari awal cerita itu ditulis. Konflik-konflik kecil saja dulu, lalu dirangkai sehingga boommm! konflik puncaklah yang akan menentukan bagaimana cerita itu akan berakhir.

Novel kedua mengangkat tema ghost writer. Well, awalnya saya tertarik karena baru sekali ini menyunting novel dengan tema unik seperti itu. Tapi kemudian saya kecewa. Ya, ternyata jauh dari ekspektasi saya. Tema itu hanya pelengkap. Tema itu layaknya definisi semata yang dituang dalam beberapa paragraf, tapi tidak membangun karakter dan cerita. Tidak mencoba mengeksplor kehidupan penulis hantu, lika-likunya, kelebihan dan kekurangan, apa pun itu yang bisa memberi informasi pada pembaca, "Ohh, ternyata kerjaan ghost writer itu begini, begitu." Yeah, walaupun saya akui tetap ada bumbu-bumbu cinta. Tapi, bukan berarti mengesampingkan tema kan? Coba kalau novel itu diracik sedemikian rupa, pasti bakal lebih bagus. Saya berani jamin :)

Novel ketiga mengangkat tema cinta segitiga antara seorang cewek dengan kakak kelas dan tetangganya (yang merupakan cinta pertama cewek itu). Well, klasik sih tema cinta segitiga. Tapi dua jempol buat penulis ini (saya harap novel ini laku keras). Walau mengangkat tema pasaran, si penulis jago meramu perasaan yang dialami ketiga tokoh itu, kata-kata yang digunakan pun mengalir, tiga karakter utama sukses dibuatnya seolah-olah hidup, alur cerita gak bikin bosan, konfliknya pas banget, dan yang pasti tukang sunting ga perlu dibikin ribet (hahaha).

Jadi, buat kamu yang pengen nulis novel, pikir-pikir dulu deh. Nulis novel itu nggak gampang. Ada beberapa hal yang harus kamu perhatikan, semisal unsur instrinsik dan data-data. Karena kalau kamu asal menulisnya, jangan harap novelmu akan bertengger lama di rak pembaca. Bisa jadi sudah terselip entah di mana atau lebih parahnya lagi dijadikan bungkus kacang. Duh...


  1. Buatlah outline/kerangka sehingga kamu nggak melenceng dari jalur.
  2. Nggak apa-apa tema yang kamu angkat pasaran. Yang paling penting bagaimana kamu meraciknya sehingga tidak terlalu membosankan.
  3. Tema bukan pelengkap. Tema menuntunmu untuk mengeksplor keseluruhan isi dalam novelmu. Jadi, misalnya kamu mengambil tema dunia wartawan, bukan berarti kamu hanya mencantumkan definisi wartawan. Tapi bagaimana kamu menggambarkan dunia wartawan serta kesulitan dan hal apa saja yang dialaminya.
  4. Buat kalimat/paragraf pembuka pada prolog/bab 1 semenarik mungkin. Itu penting banget untuk menarik pembaca. Dari situ mereka bisa memutuskan apakah novelmu layak baca atau dibuang tidak sayang. Jadi, kalau kamu pengen novelmu lamaa banget bertengger di kamar pembaca, buatlah semenarik mungkin.
  5. Jangan berbelit-belit. Kadang-kadang penulis baru (ada beberapa penulis lama) masih bingung untuk menceritakan apa di bab-bab awal. Lebih baik, setelah kamu menulis bab 1 coba kasih ke temenmu, minta tolong dia untuk mengevaluasi sudah sejauh mana naskah yang kamu tulis. Apakah sudah bagus atau masih perlu beberapa perbaikan?
  6. Susun konflik mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling sukar, sehingga kamu punya bom waktu siap meledak yang akan membuat ceritamu semakin penasaran.
  7. Jangan membeberkan karaktermu hingga sedetail-detailnya. Biarkan pembaca yang menebak-nebak seperti apa pemeran utama novelmu. Itu lebih menarik ketimbang kamu membeberkan segalanya di bab 1.
  8. Dalami karaktermu. Buatlah dia seolah-olah hidup. Tokoh-tokoh adalah "manusia" yang hidup dalam novel. Tentunya juga butuh sifat-sifat manusia, kan? :)
  9. Ini penting!!! Beberapa naskah novel yang saya sunting menyisipkan kalimat-kalimat bahasa Inggris. Karakter-karakter yang dibangun merupakan seorang yang berpendidikan atau berasal dari luar negeri, tapi bahasa Inggris yang diucapkan? Jadi, secara tidak langsung saya disuruh untuk membetulkan ucapan-ucapan karakter. So, buat kalian yang pengen menyisipkan bahasa Inggris, alangkah baiknya konsultasi dulu sama kamus, buku grammar, bahkan buku structure.
  10. Mending pake bahasa Inggris, lha kalau pakai bahasa Korea? Waduh! Pernah beberapa kali saya menyunting naskah novel K-pop yang mana istilah bahasa Korea tidak dicantumkan artinya. Hellooo, saya orang Indonesia bukan Korea. Alhasil saya harus bolak-balik berkonsultasi sama Mbah Google.
  11. Jadi, penting bagi kalian untuk memerhatikan istilah/pengucapan bahasa asing.
  12. Judul dan isi novel harus sinkron! Bila di tengah cerita judul tak lagi mencerminkan isi, ada baiknya diganti. Bukan dibiarkan.
  13. Ingat! Novel bukan hanya sekadar buku berisi tulisan-tulisan tak bernyawa. Novel adalah kehidupan kedua di mana manusia-manusia fiktif berkeliaran. Buatlah novel yang benar-benar hidup, yang terasa nyata dalam pikiran pembaca.
Sepertinya itu dulu dari saya. Sekian dan terima kasih! ^_^

Wednesday, November 12, 2014

Happy Father's Day: Ayah dan Kami

Pria itu gagah. Berdiri tegap memimpin jalannya upacara. Dibalut seragam safari biru tua, dia mengomando dengan suara lantang. Barisan manusia di depannya tak ada yang bergerak, khidmat mendengar suaranya yang cukup membahana, walaupun matahari tak hentinya memancarkan keperkasaan. Seusai upacara, barisan itu membubarkan diri dan segera menuju meja masing-masing untuk menunaikan tugas. Pria itu berjalan--masih dengan badan yang tegap--juga menuju ruangannya, duduk, dan mulai menggenggam pena. Ditandatanganinya berkas yang perlu dikoreksi. Keningnya berkerut bilamana mendapatkan kejanggalan dan bibirnya menyunggingkan senyum jika berkas tersebut sudah benar. Siang malam dia bekerja, tanpa mengeluh, tanpa meneriakkan kebosanannya. Meja dan segala berkas adalah saksi bisu bagaimana kerasnya dia menjalani hari.

Ayah, begitu kami memanggilnya, merupakan satu-satunya sosok dalam keluarga kecil ini. Kami semua perempuan--3 anak gadis dan 1 istri. Sebagian besar sosok ayah dikenal sebagai pribadi yang terbilang keras, sangat sangat sangat disiplin, dan kurang mengerti perasaan yang dimiliki anak gadisnya. Well, itu sama sekali tidak benar. Ayah kami adalah ayah yang penuh kasih. Walaupun sesekali kekerasan muncul dalam sosoknya, tapi dia tidak pernah sebegitu kejamnya terhadap kami. Jika Ibu marah dan mengomel, Ayah yang selalu menjadi tempat kami mengadu. Kami mengadu apa pun yang dilakukan Ibu terhadap kami, termasuk kata-katanya. Biasanya anak kecil selalu melebih-lebihkan agar tidak dimarahi atau dipukuli. Dan itu terjadi pula kepada kami. Namun, Ayah dengan bijaknya mengatakan kepada kami untuk memahami Ibu karena beliaulah yang melahirkan kami, yang "menggendong" kami selama sembilan bula. Jadi, tak sepantasnya kami marah atau berlaku kasar.

Dulu kami suka sekali jajan (sampai sekarang malah), suka sekali membeli baju, permainan, sepatu, dll. Kalau meminta upah atau duit ke Ibu, beliau pasti tidak akan memberi sehingga kami selalu mengatainya pelit. Lalu, kami akan berlari ke Ayah dan dengan entengnya meminta upah. Ayah, dengan tersenyum, kemudian memberikan beberapa lembar duit dan berpesan "Awas, nanti ibumu tahu." Makanya kami selalu meminta jajan pada Ayah karena dengan beliau, semuanya terasa lebih "gampang." Tak ayal aku pun sempat bercita-cita untuk membahagiakan ayah saja (Hahaha). Namun, ketika sudah dewasa, Ayah mulai menasihati kami perlahan-lahan. Katanya, "Ibu "pelit" karena dia adalah bendahara rumah tangga. Dia yang mengatur semua pengeluaran dan pemasukan anggaran. Jadi, wajar kalau Ibu "pelit."

Saat masih SD, jika waktu belajar di malam hari telah tiba (seingatku kami mulai belajar jam 7 malam), Ibu yang akan mengajari kami. Namun, kami merasa Ibu "terlalu galak" sebagai guru privat (Hahaha). Jadi, kami mulai ngambek dan tidak ingin diajari Ibu lagi. Alhasil, kami akan berlari pada Ayah dan memintanya untuk mengajari kami. Setidaknya Ayah lebih sabar dalam hal ini walaupun terkadang kami tidak mengerti apa yang diajarkan beliau. Sungguh! Beliau lebih cocok jadi PNS di belakang meja ketimbang jadi guru. Tapi Ibu juga terlalu galak untuk menjadi guru :p

Kembali lagi ke persoalan "Ibu yang pelit." Jika Ibu selalu memilih makanan yang sangat sangat sangat murah untuk dikonsumsi--dengan alasan penghematan uang--lain halnya dengan Ayah. Beliau pasti akan berkata, "Uang gak apa-apa habis untuk makanan. Itu lebih bagus daripada dihabiskan untuk belanja yang nggak penting dan yang bener-bener nggak dibutuhin." Kami sangat menyayangimu, Ayah :) :) :)

Kami sangat suka ketika beliau memanggil dengan sebutan "Nak", daripada memanggil hanya dengan nama. Suara beliau saat memanggil "Nak" terdengar sangat lembut, menyentuh, menyejukkan, dan penuh kasih. Ahh, aku ingin memeluk Ayah sekarang juga.

Beliau selalu mengajarkan kami untuk menjadi perempuan yang mandiri. Kelak menjadi seorang istri jangan membebankan suami. Setidaknya kami harus memiliki pekerjaan mapan untuk mencukupi kebutuhan kami dan tidak bergelayut manja di lengan suami karena suami juga memiliki beban dan tanggung jawab yang harus dipikulnya sebagai ayah, suami, dan kepala rumah tangga. 

Tapi jangan salah, Ayah kalau marah juga seram. Beliau kalau sudah mengatakan A pasti akan tetap A walaupun memang sih masih bisa dirubah kalau kita cukup cerdik merayunya (hehehe). Ayah juga merupakan seorang pribadi pekerja keras yang tidak mengenal lelah. Juga merupakan seorang pribadi yang jujur. Sedikit bocoran. Dulu sempat ada proyek yang ingin melibatkan Ayah, yah tau sendirilah birokrasi di negeri ini. Ayah ingin dibayar dengan sejumlah uang yang tidak sedikit, tapi bersyukurlah karena dia dikelilingi oleh adik saya yang 'galak' saat mendengar berita itu. Tidak segan-segan dia memarahi Ayah agar tidak menerima proyek itu dan Ayah memang dari awal sudah berniat untuk tetap jujur. Sempat Ayah dan adik saya dikejar oleh penguntit tak dikenal (namanya juga penguntit) agar Ayah menerima proyek itu. Tapi Ayah tetap pada prinsipnya. Mungkin terdengar rohani, Ayah tidak mau menerimanya karena beliau takut Tuhan, beliau juga sayang keluarga. Well, bisa dibilang Ayah kami pemberani dan jujur.

Ayah, walaupun kami telah beranjak dewasa, kami sudah mulai tenggelam dalam kesibukan kami dan keriputmu mulai nampak, kami tidak akan pernah melupakanmu. Di saat tubuhmu mulai digerogoti penyakit misterius itu (pertama kali aku mendengarnya, aku menangis dalam doa) kami tetap menyayangimu. Semoga cepat sembuh Ayah dan harus sembuh, tidak boleh tidak. Ayah harus tertawa dan tertawa sampai nanti.

Ayah, walaupun kau tidak berada di dekat kami saat ini, jangan khawatir karena dalam ruang dan waktu kita selalu bersama.

Ayah, walaupun aku sering berbohong pergi ke gereja tapi nyatanya tidak, walaupun aku selalu takut mengabarimu bahwa tidak lolos dalam penerimaan karyawan ini dan itu, walaupun terkadang tidak nyaman saat kau mulai berbicara serius mengenai perjodohan, pekerjaan, dll, walaupun kita selalu bertengkar karena pendapat yang tak sama, walaupun terkadang kau keras padaku bilamana aku tak menurut perintahmu, kau selalu tetap di hati. Kaulah cinta pertama dan selamanya kami. Kaulah sosok lelaki yang tak pernah tergantikan dalam hati kami. 

Hari ini adalah hari ayah (meskipun di Indonesia tidak merayakan hari ayah) dan aku mendedikasikan tulisan terbuka ini untukmu. Meskipun kau tidak (mungkin tidak akan pernah) membacanya, aku senang pernah menuliskan ini tentangmu. Semoga kau sehat selalu di sana bersama Ibu, semoga kau tetap bahagia bilamana salah satu dari kami membangkang. Tetap menyayangi kami jika suatu saat sayang kami mulai memudar. Maaf jika kami selalu menyakitimu, selalu membuatmu menangis, dan terkadang membuatmu marah. Sekali lagi, dengan hati sekecil ini, kami ingin bilang kami menyayangimu :)

HAPPY FATHER'S DAY ^^




Mendung Kali Ini...

Kami sudah beranjak dewasa. Bukan lagi seorang gadis kecil yang memainkan boneka di teras rumah atau bermain rumah-rumahan bersama teman lainnya. Kami sudah cukup sibuk sekarang. Waktu terasa berputar sangat cepat, menyisakan sangat sedikit kesempatan bagi kami untuk bertatap muka.

Masih jelas di ingatan bagaimana dulu sewaktu kecil, kami bermain, berlari-larian--sebut saja sedang mengejar kupu-kupu cantik yang berhenti sebentar di kelopak bunga mawar. Kupu-kupu itu cantik, berwarna kuning, tapi bila dipegang bagian sayapnya bisa terasa serbuknya yang menempel di ujung telunjuk dan ibu jari. Kami masih suka menciprat-cipratkan air bila mandi bersama di halaman belakang rumah yang berpagar alami dan tinggi.

Jika malam tiba, seusai 2 jam belajar yang melelahkan, aku berteriak "ayo main petak umpet", suatu kode atau sinyal untuk mengumpulkan teman-teman sekompleks. Setelah kami berkumpul, aku, adikku, dan teman-teman mulai saling menunjuk siapa yang "berjaga di pos sembunyi" untuk pertama kali, sedangkan lainnya mencari tempat persembunyian yang teramat sulit. Yah, kami sangat menikmati masa-masa itu. Masa-masa pekerjaan bukan menjadi beban utama kami, atau memiliki kekasih bukan tujuan lain kami. Kami hanya tahu dua hal: belajar dan bermain. Itu tugas utama kami.

Ketika hari hujan. walaupun aku membawa payung, payung itu tidak kubuka. Aku ingin bermain bersama dia, menikmati hujan yang datang hanya beberapa lama di kota kecilku yang terbilang kering. Hingga tubuh kami basah, hingga kami sakit dan dimarahi ibu habis-habisan. Dan kami benar-benar menyukai hujan karena bisa menjadi alasan utama untuk tidak berangkat sekolah. Kebetulan  sekolah kami suka kebanjiran jika musim hujan datang. Di dekatnya semacam ada selokan besar tempat menampung air dan bila hujan akan meluap sehingga kami harus siap sedia dengan membawa sandal jepit.

Kini kami sudah beranjak dewasa. Kami mulai mengerti apa itu cinta dan bagaimana rasanya patah hati, bagaimana ditinggalkan dan meninggalkan orang terkasih, bagaimana rasanya kabar kehidupan dan kematian yang datang silih berganti. Kami mulai berpikir bagaimana caranya untuk mempertahankan kehidupan bilamana sandaran kami tidak lagi mendukung kami. Kami mulai memperhitungkan apa yang harus diperbuat dan apa yang harus dijauhi. Kami sudah mulai mengerti bagaimana kehidupan itu seharusnya berjalan.

Kesibukan yang kini tengah menghanyutkan kami, membuat masing-masing sudah lagi--hampir--tidak menanyakan kabar. Kesibukan membuat kami tidak lagi punya cukup waktu untuk bersama. Memang kami tetap bersama di bawah satu atap, tapi seolah-olah kami hanya numpang tidur. Seperti hotel saja. Lalu pagi-pagi sekali kami bangun untuk mencari sebongkah berlian. Kami yang dulu, yang bisa membagi waktu untuk belajar, bermain, dan tidur, kini sudah tak lagi bisa melakukannya. Kebanyakan waktu ini dihabiskan untuk memaksa tubuh memuaskan dahaga kebutuhan kami. 

Jujur, dalam hati masing-masing, kami merindukan tawa bersama, tawa yang bukan milik sendiri. Kami rindu menangis bersama, bukan memendam rasa seolah-olah diri terlalu kuat untuk menampungnya. Kami rindu berjalan bersama, bukan berjalan sendiri seolah-olah tidak butuh teman di samping. Kami rindu berebut makanan, berebut pakaian, berebut sepatu. Dan mendung kali ini mengingatkanku pada dua adikku yang hanyut dalam kesibukan dan kegiatan mereka (termasuk aku). Memang kami masih dekat, masih seperti dulu, tapi kebersamaan itu yang perlahan-lahan hilang. Dan itulah kehidupan, itulah waktu.


Wednesday, November 5, 2014

Keluh Kesah Sinetron

Sore kemarin, di dalam kamar lebih tepatnya, saya sedang duduk sambil menikmati semilir angin buatan (baca: AC). Iseng-iseng saya mencoba menonton salah satu TV swasta. Yeah, biasalah di sore hari (mulai jam 5) hingga malam hari (kurang lebih hingga jam 9 malam) berbagai tv swasta berlomba-lomba menayangkan program unggulan masing-masing, walaupun beberapa di antaranya menayangkan acara yang, maaf, tidak terlalu mendidik.

Nah, sore itu saya menyaksikan sinetron yang memang baru diproduksi beberapa hari lalu oleh salah satu tv swasta. Sinetron itu memang bertemakan agama, tapi kok tidak tepat sasaran ya? seperti sinetron-sinetron lain yang mengatasnamakan remaja, tapi malah mendidik mereka tidak bersikap seharusnya menurut umur. Memang, KPI telah nengingatkan bahkan melarang beberapa sinetron yang dinilai tidak sesuai, yahh tapi tetap saja--mungkin rumah produksi tidak ingin membuang-buang anggaran untuk merubah cerita yang sudah terlanjur dibuat. Ini hanya pendapat saya sebagai orang awam, yang sedikit banyak mengamati perubahan sinetron dari tahun ke tahun walaupun tidak menggilai satu jenis sinetron.

Entah kenapa, makin ke sini sinetron Indonesia semakin nggak jelas (walaupun dari dulu memang sudah begitu). Seakan-akan orang Indonesia itu kejam, sukanya main kekerasan, pendendam, seorang ibu yang tidak menyayangi anaknya lalu membuangnya begitu saja di jalanan, seorang suami yang dengan entengnya berselingkuh meninggalkan seorang istri dan (katakanlah) dua orang anak berpenyakitan di rumah. Apakah orang Indonesia semuanya seperti itu? Jika sedang marah, harus memelototkan mata sambil mengertakkan gigi lalu bersuara keras dalam hati? Sedikit-sedikit menampar, sedikit-sedikit memaki, sedikit-sedikit mengusir dari rumah. Sekejam itukah?

Lebih bahaya lagi jika sinetron-sinetron itu ditonton oleh anak-anak yang masih harus dibina oleh orang tua, tapi tanpa pengawasan. Mereka bisa menyerap hal apa pun, mentah-mentah, tanpa pengertian atau bimbingan dari orang yang lebih dewasa. Dampaknya?


  1. Diajarin buat mikir berat soal cinta. Bagaimana tidak? Di salah satu sinetron yang saya tonton semalam, anak SMA yang sudah pacaran, cowoknya diajak tinggal serumah (walaupun ada ayah ceweknya, dan juga diberi fasilitas-fasilitas). Coba kalau itu saya? Sudah dihajar bapak dan yang paling kejam, mungkin nggak bakal dianggap anak lagi.
  2. Pacaran itu boleh lebih dari sekadar pegangan tangan. Dulu, boro-boro pegangan tangan, mau ketemuan aja mesti malu. Harus ngajak teman buat nemenin, biar kesannya lebih berani.
  3. Nggak usah sayang sama binatang, buat apa? Yap, di salah satu sinetron bahkan kelinci dimakan, dengan berdarah-darah. Selain nggak sayang binatang, secara tidak langsung itu mengajarkan kekerasan atau mempertontonkan scene yang menurut saya agak berlebihan. Ini bukan film, ini sinetron yang tayang setiap hari. Dengan demikian, kesempatan para remaja yang menyaksikannya pun terbuka lebar.
  4. Ayo, nge-bully teman-teman yang tidak mampu, cacat, miskin, atau jelek! Hampir di semua sinetron, selalu saja ada adegan pem-bully-an, entah itu anak orang kaya ke orang miskin, yang cantik terhadap yang jelek, atau yang pintar ke yang bodoh. Kalau sudah begini, peran orang tua atau orang-orang yang lebih paham sangat dibutuhkan. Kita pasti nggak mau kan anak kita, atau keponakan, atau saudara jadi korban pem-bully-an atau malah pelaku pem-bully-an?
  5. Nggak usah belajar, cinta itu yang lebih penting! Ceritanya aja pemeran-pemeran di sinetron itu memakai seragam, ceritanya aja mereka ke sekolah, tapi ujung-ujungnya memikirkan bagaimana menggaet cowok cakep, atau cewek cantik. Seharusnya, untuk para remaja, pendidikan masih yang terpenting. Cinta itu urusan nanti. Kalau memang kita sudah layak, pasti suatu saat akan bertemu cinta sejati. Yang penting, meniti masa depan dulu. Nggak mungkin kan makan cuma pakai cinta? :-)
  6. Siapa sih orang tua itu? Nggak usah deh hormat segala. Nah, di beberapa sinetron pasti ada kan adegan seorang anak yang sukanya ngelawan orang tua. Pake ngancem buat ngacir dari rumah. Padahal orang tua itu sosok yang harus kita hormati, bukan dilawan atau dicaci maki. Siapapun orang tua kita, kita tidak bisa protes. Kita tidak bisa mengeluh pada Tuhan untuk menggantikan siapa keluarga kita, siapa orang tua kita. Seburuk apa pun orang tuamu, pasti ada hal-hal yang bisa dipetik dari segala kejadian.
  7. "Kita kan kelompok kaya, ngapain lo di sini? Ga cocok banget jalan sama kita. Lo kan miskin!" Sering kan kalian mendengar percakapan seperti ini? Secara gak langsung mengajarkan kita, terutama kaum remaja, untuk membeda-bedakan. Yang kaya cirinya seperti ini, yang miskin seperti itu, yang pintar, yang bloon, yang cacat, dst. Cenderung juga mengajarkan anak-anak untuk tidak bisa berteman apa adanya. Mereka akan menjaga jarak saat tahu salah satu teman tidak sesempurna mereka. Yaahh, paling ekstrim sih mem-bully.
  8. Oh, jadi ke sekolah tuh gak apa-apa ya pake rok mini, lipstik, make up berlebihan. Di daerah saya, waktu itu jamannya lagi tenar Pernikahan Dini. Tau kan gimana gaya Agnes kalau bersekolah? Kaos kaki panjang, rok di atas lutut, pakai make up, dan seterusnya, dan seterusnya. Nah, hampir sebagian siswinya kalau bersekolah slalu bergaya seperti itu (untung saja saya tidak karena termasuk cupu dulu di sekolah). Dengan dua kancing teratas dibuka, kerah ditegakkan (layaknya petugas-petugas klab malam), sedikit polesan make up, kaos kaki panjang, rok seragam yang cukup pendek, lengan seragam yang digulung. Sudah kebayang, kan, seperti apa mereka kalau bersekolah?

Walaupun memang ada beberapa sinetron yang mendidik, tetap saja peranan orang tua atau orang yang lebih paham tetap dibutuhkan. Sedikit banyak pergaulan dan cara hidup para remaja dipengaruhi lingkungan, salah satunya sinetron. Semoga dengan begini kita lebih bisa mawas diri, terutama terhadap anak-anak kita :)


Monday, August 18, 2014

Sepatu Baru

Berburu barang saat diskonan atau saat promo pay 1 get 1 itu sangat sangat sesuatu! Orang-orang rela berdesak-desakkan cuma buat beli sepatu yang mereka mau. Rela mengumpat-ngumpat orang lain (walopun dalam hati doang) kalo dia sedang megangin sepatu yang kita incar. Ya gak? pasti sebagian iya! Hahaha. Jadi, singkat kata semalam saya sama lelaki unyu-unyu saya pergi ke amplas (ambarukmo plasa) yang outlet-outletnya hampir sebagian besar mengadakan diskon. Katanya sih menyambut tanggal 17. Merdeka!!!

Awalnya saya cuma iseng doang ke amplas, maksud hati buat refreshing bentar. Trus lelaki saya ngajak ke outlet Sports Station. Katanya lagi diskon besar-besaran, bahkan pay 1 get 1. Dia pengen beli sepatu tapi ternyata yang dicari gak ada, gak sesuai seleranya dia (ada aja deh). Terus, saya yang dari iseng-iseng ngliatin doang jadi beneran ngliatin tuh sepatu-sepatu converse. Emang sih udah ada niat beli sepatu converse hitam buat kerja, karena kalo pake flat shoes ga bakal tahan lama. Kaki saya emang kaki gajah (duh, emak!) dan alhasil sepatu pada jebol.

Dan tuing!! Tiba-tiba bayangan itu mampir di kepala. Aha! Adik saya juga pengen beli sepatu converse merah. Ya sudah, kalo begitu saya beli converse hitam dan converse merahnya sebagai get 1-nya. Sebenarnya, rada-rada gak rela gitu sih beli sepatu converse hitam dengan harga selangit walopun udah ada iming-iming get 1 itu. Jadi, saya minta adik saya buat patungan. Lumayanlah setengah dari duit saya balik. Dan adik saya pun setuju dengan catatan angsurannya ga bisa langsung dilunasi. Tapi trus saya mikir. Ini adik saya, kenapa saya malah nuntut bayaran? Kenapa malah nuntut dia buat patungan? Semacam ada peperangan batin (cieehhh) beliin dia apa dia kudu patungan.

Alhasil saya memutuskan ya sudah dibelikan saja. Toh, saya yang udah kerja, saya yang udah punya duit sendiri. Ini keluarga, ini adik saya, masa saya harus mungut bayaran dari dia juga? Walopun yang saya beliin ini cuma barang diskonan, karena jujur secara finansial jg belum mampu-mampu banget, entah kenapa saya senang. Membelikan sesuatu buat keluarga, buat orang yang disayangi walapun itu gak seberapa, kekuatan dana yang pas-pasan, ada nilai tersendiri yang terselip di dalamnya. Ada niat, ada kasih sayang yang tulus buat bahagiain mereka. Walopun cuma senyum, ketawa, atau sekadar ucapan terima kasih, itu sudah menyejukkan hati kita. Dan satu lagi! Ada perasaan bangga dalam diri saya yang akhirnya bisa membelikan sesuatu buat adik, sesuatu dari hasil keringat sendiri, sesuatu yang membuat dia tersenyum lepas, gembira, dan berterima kasih.


Red converse I bought for my little sister. She smiled and thanked me for this gift. I love her, really love her! :)

Friday, June 20, 2014

Nina

            Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya. Lagi-lagi Nina memandang kesal foto kekasihnya. Sudah tiga hari Virza tidak menghubunginya. Sebagai seorang cewek, tentunya banyak perasaan negatif yang malang melintang di pikiran dan hatinya. Bisa saja kan saat ini Virza tengah berduaan dengan cewek lain sambil menikmati dua cangkir cokelat panas, atau menikmati sofa yang empuk dan hangat, atau bisa saja sedang menikmati keindahan alam Bogor. Buru-buru Nina menggeleng keras kepalanya, mengusir segala kegalauan yang hinggap di benaknya.
            “Kamu gak kangen aku, ya? Bisa-bisanya tiga hari ini kamu nyuekin aku.” Nina mendesah berat sambil mengelus foto Virza. Tubuhnya yang dibalut selimut putih perlahan bergetar. Pipinya yang merah perlahan basah oleh air mata. Siapa sih yang tidak sedih ditinggal cowoknya, bahkan tak ada kabar sekalipun?
            “Susahnya apa sih hubungin aku? Aku telepon, hapemu mati. Nanya temen-temenmu, gak ada yang tau. Trus aku harus gimana?” Nina menundukkan kepala di atas kedua lututnya. Hari-hari terasa berat buat dijalanin. Biasanya ada yang ngucapin selamat pagi, kini bahkan untuk selamat makan pun belum terdengar lagi.

YY

            “Kalo aku ngelarang kamu pergi, pasti kamu bakal tetap pergi kan?” Nina menatap Virza dengan pandangan nanar.
            Virza tersenyum lalu meraih tangan Nina. “Aku kan di sana kerja. Gak mungkin aku bakal nglirik cewek lain. Aku nglakuin ini buat masa depan kita.” Ia mengangkat salah satu tangannya untuk merapikan poni Nina yang menutupi hampir sebagian matanya.
            Buat yang suka berteori, hubungan jarak jauh gampang buat dijalanin. Saat ini kita hidup di jaman serba modern, bukan lagi jaman purba. Semua serba ada dan gak mustahil lagi. Mungkin suatu saat di masa depan akan tercipta sapu terbang yang bukan saja ada di Harry Potter atau Hansel and Gretel. Yeah, satu langkah untuk menghemat bahan bakar dan juga biaya. Intinya, menjalani hubungan jarak jauh bukanlah suatu masalah besar bagi pasangan. Komunikasi yang sering menjadi masalah pun saat ini bisa diatasi melalui Skype, Facebook, Twitter, telepon, atau apa pun itu. Sedangkan untuk yang gak suka dengerin teori, menjalani hubungan jarak jauh itu adalah hal yang sulit. Emang bener sih jaman ini serba modern, tapi komitmen itu adalah hal yang paling mendasar dalam suatu hubungan. Kalau satunya udah gak bisa memegang komitmen, lantas apa masih fine, fine aja buat dijalanin? Kalau pengen nyiksa batin trus, sih, silakan saja.
            Hal ini yang dialami Nina saat ini. Dia harus ngerelain Virza yang sebentar lagi akan hijrah ke Ibu Kota untuk mencari sesuap nasi. Nina yakin dirinya setia, bisa menjaga komitmen, tapi bagaimana dengan Virza? Cowok ini dikenal sebagai seorang playboy di kampus. Entah bagaimana, dia menjatuhkan hatinya untuk Nina, seorang gadis yang memang cantik, tapi sama sekali tidak masuk dalam daftar target perburuan para playboy. Nina khawatir kalau-kalau Virza sampai jatuh hati pada seorang gadis Ibu Kota dan mengingkari semua janji yang sudah disepakati bersama. Jujur ia belum atau sama sekali tidak siap untuk itu. Ia terlampau menyayangi Virza.
            “Percaya sama aku, aku gak bakal macam-macam. Kamu bisa ke Jakarta ngunjungin aku atau kalo libur, aku bakal balik Jogja buat jenguk kamu.” Virza mengusap pipi Nina dengan telunjuknya kemudian mengecup bibirnya sekilas. Kalau sudah begini, hati cewek mana yang gak akan terenyuh? Termasuk Nina.
            Nina hanya mengangguk pelan, tapi dalam hati perasaan khawatir itu mulai tumbuh sedikit demi sedikit. Entah bagaimana, perasaan takut akan kehilangan mengakar tanpa Nina sadari.

YY

            “Virza masih belum hubungin kamu juga?” tanya Viola, sahabat Nina, lalu menyeruput strawberry smoothies-nya. Nina hanya mengangkat bahunya sambil menyuapi mulutnya dengan sesendok original yoghurt.
            Saat itu hari Sabtu. Bukan jatah Viola maupun Nina untuk bekerja ekstra keras mengumpulkan pundi-pundi. Mereka hanya manusia dan rehat sejenak itu penting kalau otakmu tidak ingin sekarat saat ini juga.
            Salah satu pusat perbelanjaan di kota Jogja cukup ramai saat ini. Selain karena hari ini ‘tanggal muda’, juga harinya pasangan muda-mudi memadu kasih. Oke, jujur saja Nina merasa iri jika melihat pasangan yang sedang berjalan mesra. Huftt, kalau saja Virza tidak bekerja di Jakarta, mungkin saat ini ia bisa menggandeng tangannya dan menghabiskan malam minggunya dengan tenang. Tidak seperti sekarang ini. Total sudah empat hari Virza tidak menghubunginya. Sebenarnya anak itu kenapa sih? Nggak ada kabar, tiba-tiba hilang kontak.
            “Kamu gak capek, Nin, jalanin hubungan kayak gini? Bukannya nakut-nakutin atau gak dukung hubunganmu sama Virza, tapi kamu tau sendiri kan orangnya kayak gimana. Aku hanya gak mau kamu disakitin.” Viola memasang tampang serius.
            “Kamu tau Anto kan? Dia gak apa-apa tuh sama Dinda. Hubungan mereka baik-baik aja walaupun Anto dulunya hampir mirip sama Virza, playboy kelas kakap.”
            “Yaaa, itu kan Anto, Nin, bukan Virza. Gak ada yang bilang Virza gak bisa berubah. Dia pasti bisa berubah, tapi kan kita gak tau kapan. Jangan terlalu sayang seratus persen, bisa-bisa cuma sakit yang kamu dapat kalo kenyataannya gak sesuai harapanmu.”
            Nina meletakkan cup original yoghurt-nya dengan cukup kasar. “Ahh, udahlah, Vi. Omongan kamu cuma bikin aku sama Virza berantem. Kamu mau aku punya pikiran buruk tentang dia dan itu jadi alasan buat aku terus marah-marah sama dia? Iya?”
            Viola melotot, gak tahu kenapa bisa jadi begini. Niat awalnya cuma ingin ngasih saran aja buat Nina, tapi kenapa Nina malah jadi nyolot begini? “Bukan, Nin, bukan. Aku gak ada niat buat bikin kamu sama Virzha berantem. Aku ngasi masukan aja. Kalo kamu gak suka, ya, udah. Gak usah pake marah-marah juga. Dicuekin aja aku gak apa-apa, kok.” Kali ini Viola berniat mengunci rapat-rapat bibirnya, takut salah bicara lagi.
            “Sorry.” Hanya kata itu yang terucap dari bibir Nina. Kembali ia memasukkan satu sendok yoghurt yang dinginnya kali ini serasa melukai tenggorokannya.

YY

            Nina memberhentikan motor matic-nya di depan sebuah gedung tua yang tampaknya sudah berumur puluhan tahun. Terlihat cukup banyak orang yang berhamburan ke sana kemari. Ada yang membawa banyak buku serta tas punggung yang tampaknya cukup berat, ada yang datang dengan dandanan heboh dari kepala hingga ujung kaki, dan ada juga yang datang dengan pakaian ala kadarnya, kemeja kotak-kotak yang menutupi kaos putih polos di dalamnya.
            Sejenak Nina tersenyum. Gedung ini, kampus ini, adalah tempat pertama kalinya Nina bertemu Virza. Virza yang dulunya masih memiliki kekasih dan Nina yang sama sekali tidak peduli akan kehadirannya. Namun, entah bagaimana, Virza diam-diam mengamati sosok Nina walaupun saat itu ia sedang menjalin hubungan dengan Amel, kekasih yang sudah dipacarinya selama empat tahun. Sampai suatu hari Virza mencoba mendekati Nina dan mengajaknya ngobrol. Sudah tentu terbesit sedikit rasa penasaran dalam hatinya untuk mengenal sosok Nina lebih jauh. Sayang saat itu Nina sedang terbuai dengan kakak kelasnya yang bisa dibilang tampan juga. Jadi, ia sama sekali tidak menaruh rasa penasaran yang cukup besar untuk Virza.
            Hubungan mereka sebelum akhirnya mengikrarkan kata jadian terbilang berjalan tidak terlalu mulus. Di saat Nina akhirnya ingin mengenal Virza lebih jauh lagi, ada Rina di antara mereka. Rina memasuki kehidupan Virza dan menawarkan secangkir cinta untuknya. Virza yang nggak tahan kalo nggak pacaran, akhirnya menerima hati Rina walaupun beberapa bulan kemudian hubungan mereka kandas. Sebaliknya, di saat Virza ingin kembali mendekati Nina, sudah ada sosok Ryan yang menaungi hatinya. Lagi-lagi sang cinta sepertinya tengah mempermainkan mereka. Hingga suatu hari hubungan Ryan dan Nina kandas di tengah jalan dan Virza tanpa permisi mulai bermain-main dengan hati Nina.
            Nina menolehkan kepalanya ke sudut kiri. Ada sebuah pohon besar yang cukup rindang tumbuh di sana. Kenangan itu muncul begitu saja. Nina seolah-olah melihat Virza yang sedang menungguinya di bawah pohon dan beberapa saat kemudian sosok Nina yang tengah memakai jaket jeans berjalan tergopoh-gopoh sambil membawa kamus yang cukup besar. Virza tersenyum lalu menyambutnya dengan kecupan kecil di kening, kemudian mengambil alih kamus itu dari tangan Nina. Ah, kenangan yang sangat manis. Waktu ternyata berjalan dengan cukup cepat saat ini.
            Nina kembali menyalakan motornya dan melaju dengan kecepatan yang tidak terlalu tinggi. Perlahan pipinya kembali basah. Berapa lama lagi dia harus menahan ini semua?

YY

            Kring! Kring!
            “Kamu ke mana aja selama ini? Kenapa baru sekarang nelpon?” Tanpa basa-basi, Nina segera memberondongnya dengan pertanyaan begitu melihat nama Virza tertera di layar ponselnya.
            “Maaf, ya, Sayang. Ponsel aku rusak, jadi harus nginap selama tiga hari di tempat servis.” Suara Virza tetap terdengar lembut di ujung sana.
            Nina menarik napas panjang. “Beneran karena rusak? Kamu gak lagi boongin aku, kan?”
            “Hahaha. Ngapain aku boongin kamu? Emang ponselku rusak. Aku baru ngambil tadi sore pas pulang kerja. Maaf, ya, Sayang. I love you.” Virza mengeluarkan jurus andalannya. Besar kemungkinan Nina akan memaafkannya jika kata-kata sakti ini keluar dari mulutnya, dan memang benar. Seutas senyum sedang tersungging manis di bibirnya yang merah.
            “Yang, sabtu besok aku boleh ngunjungin kamu ke Jakarta? Boleh, ya? Aku kangen banget sama kamu.”
            “Sabtu? Kayaknya aku lembur. Takutnya aku gak bisa nemenin kamu jalan-jalan.” Virzha terdengar sedikit gelagapan.
            “Yaahh, tapi apa susahnya sih ngluangin waktu sedikit aja buat ketemu aku? Kamu gak kangen sama aku? Apa jangan-jangan udah ada cewek lain di sana jadi kamu gak mau aku ke Jakarta?” Napas Nina tampak memburu.
            “Enggak, bukan gitu, Sayang. Aku bener-bener lembur. Kamu harus percaya sama aku kalo aku gak punya cewek lain di sini selain kamu.”
            Jauh di dalam lubuk hati Nina, dia ingin memercayai kata-kata Virza. Namun, entah kenapa, kata-kata itu seperti tameng untuk menutupi keburukan Virza. Juga terdengar seperti sebuah larangan secara tidak langsung kalau Nina nggak boleh ke Jakarta.
            “Aku mau ke Jakarta, Za.”
            “Ya, sudah kalau begitu. Nanti aku coba ngomong sama bos aku. Moga aja dia ngijinin.”
            “Thanks.”
            Percakapan yang berlangsung sekitar sepuluh menit itu kemudian terputus dan menyisakan begitu banyak tanya di benak Nina.

YY

            Pukul sembilan pagi Nina sudah duduk manis di ruang tunggu Stasiun Tugu, padahal keretanya baru akan berangkat pukul dua belas siang. Tampaknya dia sangat bersemangat untuk menemui Virza. Seminggu tidak dihubungi dan kali ini bisa mengunjunginya di Jakarta, tentu saja tidak akan disia-siakan Nina.

            Yang, ak brangkt k jkt’y sma tmn cowokku.
            Dy udh pny istri, kok.
            Jd, qta ga mungkin macem2 J

            Sent to:
            Virza

            Sepuluh, dua puluh, tiga puluh menit sudah berlalu, tapi belum ada satu balasan pun dari Virzha. Nina hanya mengedikkan bahu, ya, sudah, mungkin dia lagi sibuk. Lagi-lagi senyum kecil sudah terparkir manis di bibirnya. Pertemuannya dengan Virza sungguh membuatnya tidak bisa tidur. Ia sibuk memikirkan baju apa yang pantas dikenakan supaya terlihat lebih cantik di mata Virza. Apakah harus dandan, atau beli sepatu baru, atau mungkin tas baru? Hahaha. Padalah cuma mau ketemu Virza, tapi malah seheboh ini, batin Nina.
            “Hei, udah lama kamu nunggunya?” sapa Dhani, teman sekantor Nina. Ya, dia ini yang akan menjadi teman di sepanjang perjalanan Nina menuju Jakarta. Kebetulan istrinya juga bekerja di Jakarta dan mau gak mau keduanya harus bergiliran untuk saling mengunjungi.
            “Hahaha. Iya, nih. Aku udah di sini dari jam sembilan tadi.”
            Ekspresi kaget Dhani tampak jelas di wajahnya. “Kamu ngapain di sini dari jam sembilan? Keretanya kan baru berangkat jam dua belas.”
            Nina hanya mengedikkan bahunya lalu tertawa renyah.
            “Cieehh, yang nggak sabar pengen liat cowoknya. Makanya ngetem di stasiun dari jam sembilan. Hahaha.”
            “Bisa aja kamu, Mas. Hahaha.”

YY

            “Besok jadi, kan, kita ketemuan?”
            “Jadi, kok,” jawab Virza pendek.
            “Ya, udah, ketemuan di Blok M jam sepuluh, ya.”
            “Lho, kok, jam sepuluh? Aku masih lembur. Jam dua aja, ya, Sayang.”
            “Ya, udah, deh, terserah kamu aja.” Nada kecewa terdengar cukup jelas dari suara Nina. Hanya besok waktu yang dia miliki untuk bisa bertemu Virza. Sisanya dia harus kembali ke Jogja dan Virza tidak mungkin membolos dari pekerjaannya hanya untuk menemani Nina menghabiskan liburannya di Ibu Kota.
            “Maaf, ya, Sayang. Tapi aku janji bakal datang tepat waktu, kok.”
            “Iya.”
            Beberapa saat kemudian telepon terputus. Nina menarik napas berat sambil mendekap gulingnya. Benar-benar membosankan. Di saat matanya masih terbuka lebar dan rasa kantuk belum memilih untuk bersarang dalam dirinya, Eka, sepupu ceweknya, sudah tidur. Padahal, dia ingin sedikit saja menuangkan rasa kesalnya pada Eka. Sempat terpikir untuk menelepon Viola, tapi rasanya tidak mungkin. Kemarin mereka sempat beradu mulut soal Virza dan meneleponnya hanya untuk curhat tentu sangat tidak mengenakkan.
            Semoga saja apa yang dikatakan Viola nggak bener. Virza cowok baik, kok. Iya, dia baik. Perlahan Nina mencoba untuk memejamkan matanya dan berusaha memikirkan yang baik tentang Virza. Ia ingin penampilannya benar-benar fresh saat bertemu Virza besok.

YY

            Ini sudah yang kesepuluh kalinya Nina mencoba menghubungi Virza dan lagi-lagi tidak ada jawaban yang terdengar di ujung sana. Virza sendiri yang bilang akan menemuinya jam dua, tapi ini sudah jam empat dan batang hidungnya belum juga tampak. Kesal, marah, sebal, bercampur aduk menjadi satu. Nina tahu Jakarta itu identik sama macet, tapi bukan berarti Virza mengacuhkan teleponnya begitu saja.
            Nina mengecek BBM-nya. Tanda R yang berarti Read terpampang begitu jelas di ruang chat­­-nya bersama Virza, tapi tetap saja tak ada balasan darinya. Ke mana, sih, anak ini? batin Nina kesal lalu mendudukkan tubuhnya di sebuah bangku yang memang sengaja disediakan pengelola mal agar pengunjung bisa beristirahat sejenak. Sekali lagi Nina mencoba menghubungi Virza. Namun, tetap saja hanya nada terhubung yang terdengar.
            Beberapa saat kemudian sesosok pria berpostur besar, tinggi, dan tegap melangkah masuk area mal dan menuju sebuah bangku tempat Nina saat ini duduk.
            “Maaf, lama banget, Yang. Kejebak macet dan bosku baru ngijinin jam satu tadi. Maaf, ya.”
            Nina melihat Virza dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ada sesuatu yang tampak ganjil di sini.
            “Kok kamu pake kaos? Bukannya kantormu gak ngebolehin pake kaos, ya. Aku masih ingat saat kamu nyuruh aku pake kemeja waktu mau ngunjungin kantormu. Katanya aku harus rapi. Kalo gak, gak bakalan dibolehin masuk.” Nina mengerutkan keningnya.
            Virza berjalan ke samping Nina lalu duduk. “Kamu, kan, orang luar, jadi harus rapi, sedangkan aku orang dalam. Jadi, gak apa-apa aku pake kaos. Lagian, kan, hari ini sabtu jadi pake kaos pun gak masalah.” Ia tersenyum manis.
            “Oh, gitu, ya?” Nina mengangguk-anggukkan kepalanya dengan pelan. Walaupun penjelasan Virza sedikit masuk akal, tetap saja ada yang nggak beres. Nina nggak mungkin segampang itu menerima kata-kata Virza.
Secara tidak sengaja mata Nina menangkap sebuah objek yang tersimpan rapi di dalam tas. “Kok bawa topi? Di dalam kantor ada matahari, ya, sampai-sampai harus pake topi segala.” Oke, kata-kata Nina kali ini terdengar cukup sinis. Sepertinya ini adalah hasil akumulasi dari perasaan marahnya yang menunggu Virza berjam-jam dan juga pikiran buruk yang menghantuinya akhir-akhir ini.
“Hahaha. Kamu sinis banget, sih, nanyanya?” Virza mencubit hidung Nina. “Topi ini gak pernah aku keluarin dari tas. Jadi, wajar aja tersimpan di sini terus.”
Lagi-lagi Nina hanya menganggukkan kepalanya perlahan. Perasaan takut kehilangan semakin menyeruak dalam benak dan juga hatinya. Apa ini? batin Nina.
“Kamu kenapa, Yang?” Virza mengarahkan wajahnya agar bisa melihat Nina lebih dekat lagi.
Nina menggelengkan kepalanya. “Gak apa-apa. Yuk, makan. Aku udah lapar banget gara-gara nungguin kamu berjam-jam.”

YY

Keheningan itu terasa menyesakkan bagi Nina. Ia tidak tahu harus mulai dari mana, padahal sebelumnya Nina sudah menyusun begitu banyak kata untuk diucapkan. Namun, skenario itu seolah-olah menguap dan menghilang entah ke mana. Di hadapannya Virza masih menunggu dalam diam. Sesekali ia memiringkan kepalanya ke kiri sambil pandangannya terus menatap Nina lekat-lekat.
“Kamu mau ngomong apa?” Akhirnya Virza bersuara, mengusir keheningan yang sedari tadi menaungi kamar kosnya.
“Ehmm, sebenarnya aku jenuh dengan hubungan ini. Kamu yang di Jakarta dan aku yang di Jogja. Capek gak sih jalanin hubungan kayak gini?” Nina tidak berani menengadahkan wajahnya untuk menatap Virza. Setelah dipikir-pikir, merupakan suatu kesalahan berkata seperti ini. Namun, ini harus dilakukan. Nina harus mengungkapkan segala keluh-kesahnya selama ini.
“Maksudmu?”
“Yaaa, kamu capek gak sih hubungan jarak jauh? Tiap kali aku butuh kamu, kamu selalu gak bisa. Kamu sibuk kerja lah, sibuk lembur lah. Tiap kali aku mau nelpon kamu, kamu bilangnya gak usah karena capek, pengen tidur. Entah kenapa, aku ngerasa yang berusaha untuk mempertahankan hubungan ini hanya aku. Kamu sama sekali nggak, kamu pasif. Yang nelpon juga aku, yang insiatif buat nanya kabar juga aku. Semenjak kamu kerja di sini, kamu berubah. Nyadar gak sih aku tuh ada cuma pas kamu lagi butuh doang. Setelah itu, kamu ninggalin aku, lupa kalau punya aku dan itu nyakitin.”
“Aku bener-bener gak ngerti maksud kamu. Aku sama sekali gak ngerasa manfaatin kamu atau ingat kamu pas lagi butuh aja. Itu nggak bener, Yang.”
Nina menarik napas panjang. “Aku pinjam hape kamu.”
Virza terkejut lalu terdiam dan beberapa saat kemudian mengangsurkan handphone-nya pada Nina.
Nina tidak tahu harus melakukan apa, tapi ibu jarinya seolah-olah tahu harus bertindak seperti apa. Dibukanya Whatsapp Virza dengan segera. Seketika itu juga dunia seolah-olah tidak lagi bersahabat dengannya. Waktu seakan berhenti. Hanya ada ruang kosong bersama dirinya di sana.
 Rina. Satu nama itu yang sangat dibenci Nina. Satu nama itu yang dulu sempat diperjuangkan Virza habis-habisan agar tidak lagi mengganggu kehidupannya juga percintaannya dengan Nina. Satu nama itu yang ingin Virza lupakan seumur hidup. Tapi, kenapa nama itu kini hadir lagi? Dengan berjuta kata mesra dan foto bergambar dirinya yang sedang memakai gaun pemberian Virza saat masih bersama? Apa maksud semua ini? Dan kenapa Virza masih berhubungan dengannya, bahkan mencoba meneleponnya saat ia berkata tidak memiliki waktu cukup banyak untuk bercakap bersama Nina? Kenapa? Kenapa dia harus melakukan ini di saat rasa sayang Nina tumpah begitu banyak untuknya?
“Apa kamu lupa, Za, dengan semua itu? Kamu lupa saat Rina nyakitin aku, nyakitin kamu, nyakitin semua keluargamu, apa kamu lupa? Kamu lupa apa yang udah kamu perjuangin agar dia pergi dari hidup kamu? Kenapa kamu masih berhubungan sama dia? Kurangku apa?” Nina berteriak histeris. Tangannya masih menggenggam erat ponsel Virza. Virzha hanya terdiam dengan tampang pucat dan tangan yang terasa dingin.
“Dan juga kalian udah putus, tapi kenapa masih manggil nama kesayangan masing-masing? Ini yang kamu sebut temen? Iya? Udah puas sekarang kamu nyakitin aku? Kamu sama dia sama aja. Sama-sama brengsek!” Kali ini Nina menatap Virza dengan tatapan benci, marah, kesal, serta apa pun itu yang kini merayap di hatinya. Tanpa menunggu jawaban Virza, ibu jari Nina menelusuri galeri foto. Baru saja hendak dibuka, tangan kokoh Virza merebutnya.
“Kenapa? Ada yang kamu sembunyikan dari aku?”
“Nggak, nggak ada. Nggak ada apa-apa di sini.” Terlihat jari-jari Virza yang bergerak cepat seolah-olah sedang menghapus beberapa foto yang mungkin saja bisa membuat Nina naik pitam.
“Kalo gak ada apa-apa, harusnya kamu gak takut. Kemarikan handphone-mu!” Tangan Nina hendak merebut ponsel Virza, tapi Virza bergerak lebih cepat dibanding Nina.
“Sudah kubilang nggak ada apa-apa!” Kali ini suara Virza meninggi.
Nina sedikit kaget dengan reaksi yang diberikan Virza. Untuk sesaat, ia terdiam.
“Sepertinya cukup sampai di sini, Za.” Nina menengadahkan kepalanya menatap Virza. Ia tidak lagi memanggilnya dengan sebutan ‘Sayang’. Baginya sebutan itu sudah tidak pantas lagi disematkan pada Virza, seorang lelaki yang bahkan tidak bisa menepati janjinya untuk terus bersama. Nina tidak ingin sakit lagi di kemudian hari. Cukup sekali ini saja sakit yang ia rasakan. Ia tidak ingin tumbuh dengan rasa sakit yang berulang jika memilih untuk menghabiskan hidup dengannya.
“Nin, please. Aku masih sayang sama kamu. Aku gak mau kamu pergi dari hidup aku. Tolong kasih aku kesempatan sekali lagi buat ngebuktiin kalo aku bener-bener pengen berubah, bener-bener pengen ngebahagiain kamu. Aku tau aku salah, tapi jujur aku gak bisa kehilangan kamu.” Virza meraih tangan Nina.
Nina tersenyum di sela bulir-bulir air mata yang terus mengalir. “Nggak, Za, kita udah gak bisa lagi.” Ia perlahan melepaskan tangannya dari genggaman Virza. “Kita lebih baik pisah karena kalo lanjut, aku takut kesempatan kamu buat nyakitin aku semakin besar.”
“Enggak, Nin, aku mohon. Aku minta maaf. Aku janji aku bisa berubah” Virza menampakkan wajahnya yang sarat penyesalan. Ia mencoba meraih kepala Nina, tapi Nina bergerak menjauh.
 “Iya, aku tau kamu bisa berubah, tapi perubahan itu bukan untuk aku, tapi untuk orang lain yang bisa nerima kamu apa adanya. Orang itu pasti bakalan beruntung milikin kamu yang udah berubah. Tapi, maaf, Za, aku udah nggak bisa walaupun jujur aku masih sayang banget sama kamu. Maaf, Za. Tolong lepasin aku, please.
Hening. Virza hanya bisa terdiam dan tertunduk lesu. Jauh dalam lubuk hatinya ia benar-benar merasa bersalah pada Nina, tapi Virza juga nggak bisa membohongi hatinya yang masih menyimpan sedikit cinta untuk Rina. Sosok itu kembali datang beberapa hari yang lalu dan menggoyangkan perasaannya pada Nina. Ia hadir dan menawarkan berjuta janji ingin merajut kembali asa yang sempat terputus dulu. Bahkan ia tidak peduli dengan posisi Virza yang saat ini telah memiliki kekasih. Bagi Virza, hadirnya Rina saat ia jauh dari Nina sungguh merupakan oase yang menyegarkan dan tiga hari yang dihabiskannya bersama Rina di Bogor kembali menguatkan perasaan cintanya yang dulu sempat mati.
Nina menggerakkan kakinya perlahan lalu memutar tubuhnya menjauh dan keluar dari kamar Virza. Ia menangis sesenggukan dan setengah berlari mencoba melupakan semua yang telah terjadi. Biar saja orang-orang yang kini menatapnya berpikir dia gila. Ya, dia gila karena cinta. Dia gila karena pengkhianatan. Dia gila karena kebohongan. Lelaki yang begitu dicintainya memilih untuk menengok ke masa lalu dan berdiam di sana.
Virza. Lelaki yang seharusnya menjadi bagian dari masa depannya, kini telah menjadi bagian dari masa lalunya. Mungkin saja Nina akan menemukan cinta yang baru, tapi ia tidak tahu seberapa banyak makhluk bernama lelaki itu bisa dipercaya.



Tuesday, June 17, 2014

He

He sits there, on a red bench while staring up the sky.

He then turns his head, looks at me, and then smiles.

Oh, look how handsome he is!

With wrinkles on the forehead, he doesn't look old,

Still strong, or maybe stronger than the last time we met each other.

He then calls me, allows me to sit by his side.

He tells me some stories about world, about what’s going on.

Then suddenly his face looks so serious.

He asks me to leave my dreams,

My meaningless dreams, he said.

I would be nothing if I’m still living in my dreams.

He then shouts at me that I must pursue another dream,

Another dream that others will be happy,

Not even once thinking I’ll be happy to do that.

He then arises, once again staring up the sky.

Later he holds out his right hand to me.

“You must come with me,” he says.

And then silence is my perfect world since that time.