(http://www.woroni.com.au/wp-content/uploads/2013/07/Gus.jpg)
Saya tanya dulu deh, siapa yang suka novel? Tentunya hampir semua orang suka novel. Walaupun terkadang sebagian orang ada yang bilang "Ngapain sih baca novel? Ga mutu! Mending baca koran atau nonton berita." Eitss, jangan salah! Dari novel, kita bisa tahu kebudayaan suatu negara (kalau yang kamu baca itu novel terjemahan), sejarah indonesia atau bangsa-bangsa lain, dan masih banyak lagi ragam informasi yang bisa didapat dari sana. Dan untuk membuat sebuah masterpiece, tentu membutuhkan waktu, tenaga, dan juga yang paling penting riset. Gak mungkin kan sebuah novel masterpiece digarap tanpa adanya dukungan riset berupa data-data? walau novel ringan sekalipun.
Memang menulis dan menghasilkan satu judul novel merupakan kebanggaan tersendiri. Siapa sih yang nggak seneng melihat hasil karyanya nongol di rak-rak toko buku seluruh Indonesia? Belum lagi kalau novelmu booming dan diminta untuk mengadakan acara meet and great. Wow! Itu menakjubkan! Tapi, menulis novel bukan sekadar niat, waktu, dan tenaga. Seperti yang saya bilang tadi, novel yang baik nggak terlepas dari penelitian yang menghasilkan data-data sehingga karyamu bukan saja menarik di mata pembaca, tapi juga memperkaya wawasan mereka.
Selama bekerja di dunia percetakan dan penerbitan, kerap kali menemukan naskah novel yang menurut saya belum matang, tapi entah kenapa diterima begitu saja--yeah, well, kami tidak diajak dalam rundingan menentukan novel ini layak diterima atau tidak. Maaf, kalau sedikit curcol tapi memang itu kenyataannya. Jadi tim kami hanya menyunting naskah yang sudah masuk dan dinyatakan layak cetak oleh atasan.
Kembali pada topik. Jadi, intinya novel-novel yang kami sunting masih sangat kurang dari unsur tema, konflik, pembentukan karakter, bahkan cerita. Ada beberapa novel yang tidak tahu ingin menceritakan apa, ingin menggambarkan apa di bagian prolog atau bab 1. Maaf, jika kasar, tapi sebagai penyunting saja kami sudah malas membacanya, apalagi pembaca itu sendiri?
Unsur-unsur intrinsik dalam novel sangat penting untuk diingat. Novel tidak hanya sekadar untaian kalimat lalu disusun menjadi cerita, kemudian dijilid dan blaamm dijual di toko-toko buku. Kalau novelmu tidak menarik, untuk apa kami membeli novel kedua, ketigamu, dst? Karena kami (pembaca) tidak bisa menjamin karyamu berikutnya akan lebih bagus atau lebih buruk.
Belakangan ini yang laris di pasaran adalah novel bertemakan Korea atau K-pop. Kebetulan saya baru saja selesai menyunting tiga novel sekaligus. Tentunya ketiga novel ini memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri (maaf, tidak bisa menyebutkan judul-judul novelnya karena sedang dalam proses cetak :D ). Novel pertama mengangkat tema kakak-adik (laki-laki dan perempuan) yang memiliki sifat serupa. Keduanya juga mengalami perasaan jatuh cinta dengan lawan jenis pada waktu bersamaan. Sayangnya judul sama sekali tidak mencerminkan isi novel yang lebih banyak menceritakan tentang tokoh adik, sedangkan si kakak hanya sebagai pelengkap. Juga konflik yang dibangun masih terlalu dangkal, sebatas permukaan saja. Saya bahkan tidak tahu konflik puncak seperti apa yang membuat kehidupan si adik carut-marut. Tiba-tiba saja dia sudah begini, tiba-tiba saja sudah begitu. Baiknya konflik dibuat dari awal cerita itu ditulis. Konflik-konflik kecil saja dulu, lalu dirangkai sehingga boommm! konflik puncaklah yang akan menentukan bagaimana cerita itu akan berakhir.
Novel kedua mengangkat tema ghost writer. Well, awalnya saya tertarik karena baru sekali ini menyunting novel dengan tema unik seperti itu. Tapi kemudian saya kecewa. Ya, ternyata jauh dari ekspektasi saya. Tema itu hanya pelengkap. Tema itu layaknya definisi semata yang dituang dalam beberapa paragraf, tapi tidak membangun karakter dan cerita. Tidak mencoba mengeksplor kehidupan penulis hantu, lika-likunya, kelebihan dan kekurangan, apa pun itu yang bisa memberi informasi pada pembaca, "Ohh, ternyata kerjaan ghost writer itu begini, begitu." Yeah, walaupun saya akui tetap ada bumbu-bumbu cinta. Tapi, bukan berarti mengesampingkan tema kan? Coba kalau novel itu diracik sedemikian rupa, pasti bakal lebih bagus. Saya berani jamin :)
Novel ketiga mengangkat tema cinta segitiga antara seorang cewek dengan kakak kelas dan tetangganya (yang merupakan cinta pertama cewek itu). Well, klasik sih tema cinta segitiga. Tapi dua jempol buat penulis ini (saya harap novel ini laku keras). Walau mengangkat tema pasaran, si penulis jago meramu perasaan yang dialami ketiga tokoh itu, kata-kata yang digunakan pun mengalir, tiga karakter utama sukses dibuatnya seolah-olah hidup, alur cerita gak bikin bosan, konfliknya pas banget, dan yang pasti tukang sunting ga perlu dibikin ribet (hahaha).
Jadi, buat kamu yang pengen nulis novel, pikir-pikir dulu deh. Nulis novel itu nggak gampang. Ada beberapa hal yang harus kamu perhatikan, semisal unsur instrinsik dan data-data. Karena kalau kamu asal menulisnya, jangan harap novelmu akan bertengger lama di rak pembaca. Bisa jadi sudah terselip entah di mana atau lebih parahnya lagi dijadikan bungkus kacang. Duh...
- Buatlah outline/kerangka sehingga kamu nggak melenceng dari jalur.
- Nggak apa-apa tema yang kamu angkat pasaran. Yang paling penting bagaimana kamu meraciknya sehingga tidak terlalu membosankan.
- Tema bukan pelengkap. Tema menuntunmu untuk mengeksplor keseluruhan isi dalam novelmu. Jadi, misalnya kamu mengambil tema dunia wartawan, bukan berarti kamu hanya mencantumkan definisi wartawan. Tapi bagaimana kamu menggambarkan dunia wartawan serta kesulitan dan hal apa saja yang dialaminya.
- Buat kalimat/paragraf pembuka pada prolog/bab 1 semenarik mungkin. Itu penting banget untuk menarik pembaca. Dari situ mereka bisa memutuskan apakah novelmu layak baca atau dibuang tidak sayang. Jadi, kalau kamu pengen novelmu lamaa banget bertengger di kamar pembaca, buatlah semenarik mungkin.
- Jangan berbelit-belit. Kadang-kadang penulis baru (ada beberapa penulis lama) masih bingung untuk menceritakan apa di bab-bab awal. Lebih baik, setelah kamu menulis bab 1 coba kasih ke temenmu, minta tolong dia untuk mengevaluasi sudah sejauh mana naskah yang kamu tulis. Apakah sudah bagus atau masih perlu beberapa perbaikan?
- Susun konflik mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling sukar, sehingga kamu punya bom waktu siap meledak yang akan membuat ceritamu semakin penasaran.
- Jangan membeberkan karaktermu hingga sedetail-detailnya. Biarkan pembaca yang menebak-nebak seperti apa pemeran utama novelmu. Itu lebih menarik ketimbang kamu membeberkan segalanya di bab 1.
- Dalami karaktermu. Buatlah dia seolah-olah hidup. Tokoh-tokoh adalah "manusia" yang hidup dalam novel. Tentunya juga butuh sifat-sifat manusia, kan? :)
- Ini penting!!! Beberapa naskah novel yang saya sunting menyisipkan kalimat-kalimat bahasa Inggris. Karakter-karakter yang dibangun merupakan seorang yang berpendidikan atau berasal dari luar negeri, tapi bahasa Inggris yang diucapkan? Jadi, secara tidak langsung saya disuruh untuk membetulkan ucapan-ucapan karakter. So, buat kalian yang pengen menyisipkan bahasa Inggris, alangkah baiknya konsultasi dulu sama kamus, buku grammar, bahkan buku structure.
- Mending pake bahasa Inggris, lha kalau pakai bahasa Korea? Waduh! Pernah beberapa kali saya menyunting naskah novel K-pop yang mana istilah bahasa Korea tidak dicantumkan artinya. Hellooo, saya orang Indonesia bukan Korea. Alhasil saya harus bolak-balik berkonsultasi sama Mbah Google.
- Jadi, penting bagi kalian untuk memerhatikan istilah/pengucapan bahasa asing.
- Judul dan isi novel harus sinkron! Bila di tengah cerita judul tak lagi mencerminkan isi, ada baiknya diganti. Bukan dibiarkan.
- Ingat! Novel bukan hanya sekadar buku berisi tulisan-tulisan tak bernyawa. Novel adalah kehidupan kedua di mana manusia-manusia fiktif berkeliaran. Buatlah novel yang benar-benar hidup, yang terasa nyata dalam pikiran pembaca.
Sepertinya itu dulu dari saya. Sekian dan terima kasih! ^_^