Wednesday, November 26, 2014

Sedikit Hal Penting untuk Menulis Novel


(http://www.woroni.com.au/wp-content/uploads/2013/07/Gus.jpg)



Saya tanya dulu deh, siapa yang suka novel? Tentunya hampir semua orang suka novel. Walaupun terkadang sebagian orang ada yang bilang "Ngapain sih baca novel? Ga mutu! Mending baca koran atau nonton berita." Eitss, jangan salah! Dari novel, kita bisa tahu kebudayaan suatu negara (kalau yang kamu baca itu novel terjemahan), sejarah indonesia atau bangsa-bangsa lain, dan masih banyak lagi ragam informasi yang bisa didapat dari sana. Dan untuk membuat sebuah masterpiece, tentu membutuhkan waktu, tenaga, dan juga yang paling penting riset. Gak mungkin kan sebuah novel masterpiece digarap tanpa adanya dukungan riset berupa data-data? walau novel ringan sekalipun.

Memang menulis dan menghasilkan satu judul novel merupakan kebanggaan tersendiri. Siapa sih yang nggak seneng melihat hasil karyanya nongol di rak-rak toko buku seluruh Indonesia? Belum lagi kalau novelmu booming dan diminta untuk mengadakan acara meet and great. Wow! Itu menakjubkan! Tapi, menulis novel bukan sekadar niat, waktu, dan tenaga. Seperti yang saya bilang tadi, novel yang baik nggak terlepas dari penelitian yang menghasilkan data-data sehingga karyamu bukan saja menarik di mata pembaca, tapi juga memperkaya wawasan mereka.

Selama bekerja di dunia percetakan dan penerbitan, kerap kali menemukan naskah novel yang menurut saya belum matang, tapi entah kenapa diterima begitu saja--yeah, well, kami tidak diajak dalam rundingan menentukan novel ini layak diterima atau tidak. Maaf, kalau sedikit curcol tapi memang itu kenyataannya. Jadi tim kami hanya menyunting naskah yang sudah masuk dan dinyatakan layak cetak oleh atasan. 

Kembali pada topik. Jadi, intinya novel-novel yang kami sunting masih sangat kurang dari unsur tema, konflik, pembentukan karakter, bahkan cerita. Ada beberapa novel yang tidak tahu ingin menceritakan apa, ingin menggambarkan apa di bagian prolog atau bab 1. Maaf, jika kasar, tapi sebagai penyunting saja kami sudah malas membacanya, apalagi pembaca itu sendiri?

Unsur-unsur intrinsik dalam novel sangat penting untuk diingat. Novel tidak hanya sekadar untaian kalimat lalu disusun menjadi cerita, kemudian dijilid dan blaamm dijual di toko-toko buku. Kalau novelmu tidak menarik, untuk apa kami membeli novel kedua, ketigamu, dst? Karena kami (pembaca) tidak bisa menjamin karyamu berikutnya akan lebih bagus atau lebih buruk.

Belakangan ini yang laris di pasaran adalah novel bertemakan Korea atau K-pop. Kebetulan saya baru saja selesai menyunting tiga novel sekaligus. Tentunya ketiga novel ini memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri (maaf, tidak bisa menyebutkan judul-judul novelnya karena sedang dalam proses cetak :D ). Novel pertama mengangkat tema kakak-adik (laki-laki dan perempuan) yang memiliki sifat serupa. Keduanya juga mengalami perasaan jatuh cinta dengan lawan jenis pada waktu bersamaan. Sayangnya judul sama sekali tidak mencerminkan isi novel yang lebih banyak menceritakan tentang tokoh adik, sedangkan si kakak hanya sebagai pelengkap. Juga konflik yang dibangun masih terlalu dangkal, sebatas permukaan saja. Saya bahkan tidak tahu konflik puncak seperti apa yang membuat kehidupan si adik carut-marut. Tiba-tiba saja dia sudah begini, tiba-tiba saja sudah begitu. Baiknya konflik dibuat dari awal cerita itu ditulis. Konflik-konflik kecil saja dulu, lalu dirangkai sehingga boommm! konflik puncaklah yang akan menentukan bagaimana cerita itu akan berakhir.

Novel kedua mengangkat tema ghost writer. Well, awalnya saya tertarik karena baru sekali ini menyunting novel dengan tema unik seperti itu. Tapi kemudian saya kecewa. Ya, ternyata jauh dari ekspektasi saya. Tema itu hanya pelengkap. Tema itu layaknya definisi semata yang dituang dalam beberapa paragraf, tapi tidak membangun karakter dan cerita. Tidak mencoba mengeksplor kehidupan penulis hantu, lika-likunya, kelebihan dan kekurangan, apa pun itu yang bisa memberi informasi pada pembaca, "Ohh, ternyata kerjaan ghost writer itu begini, begitu." Yeah, walaupun saya akui tetap ada bumbu-bumbu cinta. Tapi, bukan berarti mengesampingkan tema kan? Coba kalau novel itu diracik sedemikian rupa, pasti bakal lebih bagus. Saya berani jamin :)

Novel ketiga mengangkat tema cinta segitiga antara seorang cewek dengan kakak kelas dan tetangganya (yang merupakan cinta pertama cewek itu). Well, klasik sih tema cinta segitiga. Tapi dua jempol buat penulis ini (saya harap novel ini laku keras). Walau mengangkat tema pasaran, si penulis jago meramu perasaan yang dialami ketiga tokoh itu, kata-kata yang digunakan pun mengalir, tiga karakter utama sukses dibuatnya seolah-olah hidup, alur cerita gak bikin bosan, konfliknya pas banget, dan yang pasti tukang sunting ga perlu dibikin ribet (hahaha).

Jadi, buat kamu yang pengen nulis novel, pikir-pikir dulu deh. Nulis novel itu nggak gampang. Ada beberapa hal yang harus kamu perhatikan, semisal unsur instrinsik dan data-data. Karena kalau kamu asal menulisnya, jangan harap novelmu akan bertengger lama di rak pembaca. Bisa jadi sudah terselip entah di mana atau lebih parahnya lagi dijadikan bungkus kacang. Duh...


  1. Buatlah outline/kerangka sehingga kamu nggak melenceng dari jalur.
  2. Nggak apa-apa tema yang kamu angkat pasaran. Yang paling penting bagaimana kamu meraciknya sehingga tidak terlalu membosankan.
  3. Tema bukan pelengkap. Tema menuntunmu untuk mengeksplor keseluruhan isi dalam novelmu. Jadi, misalnya kamu mengambil tema dunia wartawan, bukan berarti kamu hanya mencantumkan definisi wartawan. Tapi bagaimana kamu menggambarkan dunia wartawan serta kesulitan dan hal apa saja yang dialaminya.
  4. Buat kalimat/paragraf pembuka pada prolog/bab 1 semenarik mungkin. Itu penting banget untuk menarik pembaca. Dari situ mereka bisa memutuskan apakah novelmu layak baca atau dibuang tidak sayang. Jadi, kalau kamu pengen novelmu lamaa banget bertengger di kamar pembaca, buatlah semenarik mungkin.
  5. Jangan berbelit-belit. Kadang-kadang penulis baru (ada beberapa penulis lama) masih bingung untuk menceritakan apa di bab-bab awal. Lebih baik, setelah kamu menulis bab 1 coba kasih ke temenmu, minta tolong dia untuk mengevaluasi sudah sejauh mana naskah yang kamu tulis. Apakah sudah bagus atau masih perlu beberapa perbaikan?
  6. Susun konflik mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling sukar, sehingga kamu punya bom waktu siap meledak yang akan membuat ceritamu semakin penasaran.
  7. Jangan membeberkan karaktermu hingga sedetail-detailnya. Biarkan pembaca yang menebak-nebak seperti apa pemeran utama novelmu. Itu lebih menarik ketimbang kamu membeberkan segalanya di bab 1.
  8. Dalami karaktermu. Buatlah dia seolah-olah hidup. Tokoh-tokoh adalah "manusia" yang hidup dalam novel. Tentunya juga butuh sifat-sifat manusia, kan? :)
  9. Ini penting!!! Beberapa naskah novel yang saya sunting menyisipkan kalimat-kalimat bahasa Inggris. Karakter-karakter yang dibangun merupakan seorang yang berpendidikan atau berasal dari luar negeri, tapi bahasa Inggris yang diucapkan? Jadi, secara tidak langsung saya disuruh untuk membetulkan ucapan-ucapan karakter. So, buat kalian yang pengen menyisipkan bahasa Inggris, alangkah baiknya konsultasi dulu sama kamus, buku grammar, bahkan buku structure.
  10. Mending pake bahasa Inggris, lha kalau pakai bahasa Korea? Waduh! Pernah beberapa kali saya menyunting naskah novel K-pop yang mana istilah bahasa Korea tidak dicantumkan artinya. Hellooo, saya orang Indonesia bukan Korea. Alhasil saya harus bolak-balik berkonsultasi sama Mbah Google.
  11. Jadi, penting bagi kalian untuk memerhatikan istilah/pengucapan bahasa asing.
  12. Judul dan isi novel harus sinkron! Bila di tengah cerita judul tak lagi mencerminkan isi, ada baiknya diganti. Bukan dibiarkan.
  13. Ingat! Novel bukan hanya sekadar buku berisi tulisan-tulisan tak bernyawa. Novel adalah kehidupan kedua di mana manusia-manusia fiktif berkeliaran. Buatlah novel yang benar-benar hidup, yang terasa nyata dalam pikiran pembaca.
Sepertinya itu dulu dari saya. Sekian dan terima kasih! ^_^

Wednesday, November 12, 2014

Happy Father's Day: Ayah dan Kami

Pria itu gagah. Berdiri tegap memimpin jalannya upacara. Dibalut seragam safari biru tua, dia mengomando dengan suara lantang. Barisan manusia di depannya tak ada yang bergerak, khidmat mendengar suaranya yang cukup membahana, walaupun matahari tak hentinya memancarkan keperkasaan. Seusai upacara, barisan itu membubarkan diri dan segera menuju meja masing-masing untuk menunaikan tugas. Pria itu berjalan--masih dengan badan yang tegap--juga menuju ruangannya, duduk, dan mulai menggenggam pena. Ditandatanganinya berkas yang perlu dikoreksi. Keningnya berkerut bilamana mendapatkan kejanggalan dan bibirnya menyunggingkan senyum jika berkas tersebut sudah benar. Siang malam dia bekerja, tanpa mengeluh, tanpa meneriakkan kebosanannya. Meja dan segala berkas adalah saksi bisu bagaimana kerasnya dia menjalani hari.

Ayah, begitu kami memanggilnya, merupakan satu-satunya sosok dalam keluarga kecil ini. Kami semua perempuan--3 anak gadis dan 1 istri. Sebagian besar sosok ayah dikenal sebagai pribadi yang terbilang keras, sangat sangat sangat disiplin, dan kurang mengerti perasaan yang dimiliki anak gadisnya. Well, itu sama sekali tidak benar. Ayah kami adalah ayah yang penuh kasih. Walaupun sesekali kekerasan muncul dalam sosoknya, tapi dia tidak pernah sebegitu kejamnya terhadap kami. Jika Ibu marah dan mengomel, Ayah yang selalu menjadi tempat kami mengadu. Kami mengadu apa pun yang dilakukan Ibu terhadap kami, termasuk kata-katanya. Biasanya anak kecil selalu melebih-lebihkan agar tidak dimarahi atau dipukuli. Dan itu terjadi pula kepada kami. Namun, Ayah dengan bijaknya mengatakan kepada kami untuk memahami Ibu karena beliaulah yang melahirkan kami, yang "menggendong" kami selama sembilan bula. Jadi, tak sepantasnya kami marah atau berlaku kasar.

Dulu kami suka sekali jajan (sampai sekarang malah), suka sekali membeli baju, permainan, sepatu, dll. Kalau meminta upah atau duit ke Ibu, beliau pasti tidak akan memberi sehingga kami selalu mengatainya pelit. Lalu, kami akan berlari ke Ayah dan dengan entengnya meminta upah. Ayah, dengan tersenyum, kemudian memberikan beberapa lembar duit dan berpesan "Awas, nanti ibumu tahu." Makanya kami selalu meminta jajan pada Ayah karena dengan beliau, semuanya terasa lebih "gampang." Tak ayal aku pun sempat bercita-cita untuk membahagiakan ayah saja (Hahaha). Namun, ketika sudah dewasa, Ayah mulai menasihati kami perlahan-lahan. Katanya, "Ibu "pelit" karena dia adalah bendahara rumah tangga. Dia yang mengatur semua pengeluaran dan pemasukan anggaran. Jadi, wajar kalau Ibu "pelit."

Saat masih SD, jika waktu belajar di malam hari telah tiba (seingatku kami mulai belajar jam 7 malam), Ibu yang akan mengajari kami. Namun, kami merasa Ibu "terlalu galak" sebagai guru privat (Hahaha). Jadi, kami mulai ngambek dan tidak ingin diajari Ibu lagi. Alhasil, kami akan berlari pada Ayah dan memintanya untuk mengajari kami. Setidaknya Ayah lebih sabar dalam hal ini walaupun terkadang kami tidak mengerti apa yang diajarkan beliau. Sungguh! Beliau lebih cocok jadi PNS di belakang meja ketimbang jadi guru. Tapi Ibu juga terlalu galak untuk menjadi guru :p

Kembali lagi ke persoalan "Ibu yang pelit." Jika Ibu selalu memilih makanan yang sangat sangat sangat murah untuk dikonsumsi--dengan alasan penghematan uang--lain halnya dengan Ayah. Beliau pasti akan berkata, "Uang gak apa-apa habis untuk makanan. Itu lebih bagus daripada dihabiskan untuk belanja yang nggak penting dan yang bener-bener nggak dibutuhin." Kami sangat menyayangimu, Ayah :) :) :)

Kami sangat suka ketika beliau memanggil dengan sebutan "Nak", daripada memanggil hanya dengan nama. Suara beliau saat memanggil "Nak" terdengar sangat lembut, menyentuh, menyejukkan, dan penuh kasih. Ahh, aku ingin memeluk Ayah sekarang juga.

Beliau selalu mengajarkan kami untuk menjadi perempuan yang mandiri. Kelak menjadi seorang istri jangan membebankan suami. Setidaknya kami harus memiliki pekerjaan mapan untuk mencukupi kebutuhan kami dan tidak bergelayut manja di lengan suami karena suami juga memiliki beban dan tanggung jawab yang harus dipikulnya sebagai ayah, suami, dan kepala rumah tangga. 

Tapi jangan salah, Ayah kalau marah juga seram. Beliau kalau sudah mengatakan A pasti akan tetap A walaupun memang sih masih bisa dirubah kalau kita cukup cerdik merayunya (hehehe). Ayah juga merupakan seorang pribadi pekerja keras yang tidak mengenal lelah. Juga merupakan seorang pribadi yang jujur. Sedikit bocoran. Dulu sempat ada proyek yang ingin melibatkan Ayah, yah tau sendirilah birokrasi di negeri ini. Ayah ingin dibayar dengan sejumlah uang yang tidak sedikit, tapi bersyukurlah karena dia dikelilingi oleh adik saya yang 'galak' saat mendengar berita itu. Tidak segan-segan dia memarahi Ayah agar tidak menerima proyek itu dan Ayah memang dari awal sudah berniat untuk tetap jujur. Sempat Ayah dan adik saya dikejar oleh penguntit tak dikenal (namanya juga penguntit) agar Ayah menerima proyek itu. Tapi Ayah tetap pada prinsipnya. Mungkin terdengar rohani, Ayah tidak mau menerimanya karena beliau takut Tuhan, beliau juga sayang keluarga. Well, bisa dibilang Ayah kami pemberani dan jujur.

Ayah, walaupun kami telah beranjak dewasa, kami sudah mulai tenggelam dalam kesibukan kami dan keriputmu mulai nampak, kami tidak akan pernah melupakanmu. Di saat tubuhmu mulai digerogoti penyakit misterius itu (pertama kali aku mendengarnya, aku menangis dalam doa) kami tetap menyayangimu. Semoga cepat sembuh Ayah dan harus sembuh, tidak boleh tidak. Ayah harus tertawa dan tertawa sampai nanti.

Ayah, walaupun kau tidak berada di dekat kami saat ini, jangan khawatir karena dalam ruang dan waktu kita selalu bersama.

Ayah, walaupun aku sering berbohong pergi ke gereja tapi nyatanya tidak, walaupun aku selalu takut mengabarimu bahwa tidak lolos dalam penerimaan karyawan ini dan itu, walaupun terkadang tidak nyaman saat kau mulai berbicara serius mengenai perjodohan, pekerjaan, dll, walaupun kita selalu bertengkar karena pendapat yang tak sama, walaupun terkadang kau keras padaku bilamana aku tak menurut perintahmu, kau selalu tetap di hati. Kaulah cinta pertama dan selamanya kami. Kaulah sosok lelaki yang tak pernah tergantikan dalam hati kami. 

Hari ini adalah hari ayah (meskipun di Indonesia tidak merayakan hari ayah) dan aku mendedikasikan tulisan terbuka ini untukmu. Meskipun kau tidak (mungkin tidak akan pernah) membacanya, aku senang pernah menuliskan ini tentangmu. Semoga kau sehat selalu di sana bersama Ibu, semoga kau tetap bahagia bilamana salah satu dari kami membangkang. Tetap menyayangi kami jika suatu saat sayang kami mulai memudar. Maaf jika kami selalu menyakitimu, selalu membuatmu menangis, dan terkadang membuatmu marah. Sekali lagi, dengan hati sekecil ini, kami ingin bilang kami menyayangimu :)

HAPPY FATHER'S DAY ^^




Mendung Kali Ini...

Kami sudah beranjak dewasa. Bukan lagi seorang gadis kecil yang memainkan boneka di teras rumah atau bermain rumah-rumahan bersama teman lainnya. Kami sudah cukup sibuk sekarang. Waktu terasa berputar sangat cepat, menyisakan sangat sedikit kesempatan bagi kami untuk bertatap muka.

Masih jelas di ingatan bagaimana dulu sewaktu kecil, kami bermain, berlari-larian--sebut saja sedang mengejar kupu-kupu cantik yang berhenti sebentar di kelopak bunga mawar. Kupu-kupu itu cantik, berwarna kuning, tapi bila dipegang bagian sayapnya bisa terasa serbuknya yang menempel di ujung telunjuk dan ibu jari. Kami masih suka menciprat-cipratkan air bila mandi bersama di halaman belakang rumah yang berpagar alami dan tinggi.

Jika malam tiba, seusai 2 jam belajar yang melelahkan, aku berteriak "ayo main petak umpet", suatu kode atau sinyal untuk mengumpulkan teman-teman sekompleks. Setelah kami berkumpul, aku, adikku, dan teman-teman mulai saling menunjuk siapa yang "berjaga di pos sembunyi" untuk pertama kali, sedangkan lainnya mencari tempat persembunyian yang teramat sulit. Yah, kami sangat menikmati masa-masa itu. Masa-masa pekerjaan bukan menjadi beban utama kami, atau memiliki kekasih bukan tujuan lain kami. Kami hanya tahu dua hal: belajar dan bermain. Itu tugas utama kami.

Ketika hari hujan. walaupun aku membawa payung, payung itu tidak kubuka. Aku ingin bermain bersama dia, menikmati hujan yang datang hanya beberapa lama di kota kecilku yang terbilang kering. Hingga tubuh kami basah, hingga kami sakit dan dimarahi ibu habis-habisan. Dan kami benar-benar menyukai hujan karena bisa menjadi alasan utama untuk tidak berangkat sekolah. Kebetulan  sekolah kami suka kebanjiran jika musim hujan datang. Di dekatnya semacam ada selokan besar tempat menampung air dan bila hujan akan meluap sehingga kami harus siap sedia dengan membawa sandal jepit.

Kini kami sudah beranjak dewasa. Kami mulai mengerti apa itu cinta dan bagaimana rasanya patah hati, bagaimana ditinggalkan dan meninggalkan orang terkasih, bagaimana rasanya kabar kehidupan dan kematian yang datang silih berganti. Kami mulai berpikir bagaimana caranya untuk mempertahankan kehidupan bilamana sandaran kami tidak lagi mendukung kami. Kami mulai memperhitungkan apa yang harus diperbuat dan apa yang harus dijauhi. Kami sudah mulai mengerti bagaimana kehidupan itu seharusnya berjalan.

Kesibukan yang kini tengah menghanyutkan kami, membuat masing-masing sudah lagi--hampir--tidak menanyakan kabar. Kesibukan membuat kami tidak lagi punya cukup waktu untuk bersama. Memang kami tetap bersama di bawah satu atap, tapi seolah-olah kami hanya numpang tidur. Seperti hotel saja. Lalu pagi-pagi sekali kami bangun untuk mencari sebongkah berlian. Kami yang dulu, yang bisa membagi waktu untuk belajar, bermain, dan tidur, kini sudah tak lagi bisa melakukannya. Kebanyakan waktu ini dihabiskan untuk memaksa tubuh memuaskan dahaga kebutuhan kami. 

Jujur, dalam hati masing-masing, kami merindukan tawa bersama, tawa yang bukan milik sendiri. Kami rindu menangis bersama, bukan memendam rasa seolah-olah diri terlalu kuat untuk menampungnya. Kami rindu berjalan bersama, bukan berjalan sendiri seolah-olah tidak butuh teman di samping. Kami rindu berebut makanan, berebut pakaian, berebut sepatu. Dan mendung kali ini mengingatkanku pada dua adikku yang hanyut dalam kesibukan dan kegiatan mereka (termasuk aku). Memang kami masih dekat, masih seperti dulu, tapi kebersamaan itu yang perlahan-lahan hilang. Dan itulah kehidupan, itulah waktu.


Wednesday, November 5, 2014

Keluh Kesah Sinetron

Sore kemarin, di dalam kamar lebih tepatnya, saya sedang duduk sambil menikmati semilir angin buatan (baca: AC). Iseng-iseng saya mencoba menonton salah satu TV swasta. Yeah, biasalah di sore hari (mulai jam 5) hingga malam hari (kurang lebih hingga jam 9 malam) berbagai tv swasta berlomba-lomba menayangkan program unggulan masing-masing, walaupun beberapa di antaranya menayangkan acara yang, maaf, tidak terlalu mendidik.

Nah, sore itu saya menyaksikan sinetron yang memang baru diproduksi beberapa hari lalu oleh salah satu tv swasta. Sinetron itu memang bertemakan agama, tapi kok tidak tepat sasaran ya? seperti sinetron-sinetron lain yang mengatasnamakan remaja, tapi malah mendidik mereka tidak bersikap seharusnya menurut umur. Memang, KPI telah nengingatkan bahkan melarang beberapa sinetron yang dinilai tidak sesuai, yahh tapi tetap saja--mungkin rumah produksi tidak ingin membuang-buang anggaran untuk merubah cerita yang sudah terlanjur dibuat. Ini hanya pendapat saya sebagai orang awam, yang sedikit banyak mengamati perubahan sinetron dari tahun ke tahun walaupun tidak menggilai satu jenis sinetron.

Entah kenapa, makin ke sini sinetron Indonesia semakin nggak jelas (walaupun dari dulu memang sudah begitu). Seakan-akan orang Indonesia itu kejam, sukanya main kekerasan, pendendam, seorang ibu yang tidak menyayangi anaknya lalu membuangnya begitu saja di jalanan, seorang suami yang dengan entengnya berselingkuh meninggalkan seorang istri dan (katakanlah) dua orang anak berpenyakitan di rumah. Apakah orang Indonesia semuanya seperti itu? Jika sedang marah, harus memelototkan mata sambil mengertakkan gigi lalu bersuara keras dalam hati? Sedikit-sedikit menampar, sedikit-sedikit memaki, sedikit-sedikit mengusir dari rumah. Sekejam itukah?

Lebih bahaya lagi jika sinetron-sinetron itu ditonton oleh anak-anak yang masih harus dibina oleh orang tua, tapi tanpa pengawasan. Mereka bisa menyerap hal apa pun, mentah-mentah, tanpa pengertian atau bimbingan dari orang yang lebih dewasa. Dampaknya?


  1. Diajarin buat mikir berat soal cinta. Bagaimana tidak? Di salah satu sinetron yang saya tonton semalam, anak SMA yang sudah pacaran, cowoknya diajak tinggal serumah (walaupun ada ayah ceweknya, dan juga diberi fasilitas-fasilitas). Coba kalau itu saya? Sudah dihajar bapak dan yang paling kejam, mungkin nggak bakal dianggap anak lagi.
  2. Pacaran itu boleh lebih dari sekadar pegangan tangan. Dulu, boro-boro pegangan tangan, mau ketemuan aja mesti malu. Harus ngajak teman buat nemenin, biar kesannya lebih berani.
  3. Nggak usah sayang sama binatang, buat apa? Yap, di salah satu sinetron bahkan kelinci dimakan, dengan berdarah-darah. Selain nggak sayang binatang, secara tidak langsung itu mengajarkan kekerasan atau mempertontonkan scene yang menurut saya agak berlebihan. Ini bukan film, ini sinetron yang tayang setiap hari. Dengan demikian, kesempatan para remaja yang menyaksikannya pun terbuka lebar.
  4. Ayo, nge-bully teman-teman yang tidak mampu, cacat, miskin, atau jelek! Hampir di semua sinetron, selalu saja ada adegan pem-bully-an, entah itu anak orang kaya ke orang miskin, yang cantik terhadap yang jelek, atau yang pintar ke yang bodoh. Kalau sudah begini, peran orang tua atau orang-orang yang lebih paham sangat dibutuhkan. Kita pasti nggak mau kan anak kita, atau keponakan, atau saudara jadi korban pem-bully-an atau malah pelaku pem-bully-an?
  5. Nggak usah belajar, cinta itu yang lebih penting! Ceritanya aja pemeran-pemeran di sinetron itu memakai seragam, ceritanya aja mereka ke sekolah, tapi ujung-ujungnya memikirkan bagaimana menggaet cowok cakep, atau cewek cantik. Seharusnya, untuk para remaja, pendidikan masih yang terpenting. Cinta itu urusan nanti. Kalau memang kita sudah layak, pasti suatu saat akan bertemu cinta sejati. Yang penting, meniti masa depan dulu. Nggak mungkin kan makan cuma pakai cinta? :-)
  6. Siapa sih orang tua itu? Nggak usah deh hormat segala. Nah, di beberapa sinetron pasti ada kan adegan seorang anak yang sukanya ngelawan orang tua. Pake ngancem buat ngacir dari rumah. Padahal orang tua itu sosok yang harus kita hormati, bukan dilawan atau dicaci maki. Siapapun orang tua kita, kita tidak bisa protes. Kita tidak bisa mengeluh pada Tuhan untuk menggantikan siapa keluarga kita, siapa orang tua kita. Seburuk apa pun orang tuamu, pasti ada hal-hal yang bisa dipetik dari segala kejadian.
  7. "Kita kan kelompok kaya, ngapain lo di sini? Ga cocok banget jalan sama kita. Lo kan miskin!" Sering kan kalian mendengar percakapan seperti ini? Secara gak langsung mengajarkan kita, terutama kaum remaja, untuk membeda-bedakan. Yang kaya cirinya seperti ini, yang miskin seperti itu, yang pintar, yang bloon, yang cacat, dst. Cenderung juga mengajarkan anak-anak untuk tidak bisa berteman apa adanya. Mereka akan menjaga jarak saat tahu salah satu teman tidak sesempurna mereka. Yaahh, paling ekstrim sih mem-bully.
  8. Oh, jadi ke sekolah tuh gak apa-apa ya pake rok mini, lipstik, make up berlebihan. Di daerah saya, waktu itu jamannya lagi tenar Pernikahan Dini. Tau kan gimana gaya Agnes kalau bersekolah? Kaos kaki panjang, rok di atas lutut, pakai make up, dan seterusnya, dan seterusnya. Nah, hampir sebagian siswinya kalau bersekolah slalu bergaya seperti itu (untung saja saya tidak karena termasuk cupu dulu di sekolah). Dengan dua kancing teratas dibuka, kerah ditegakkan (layaknya petugas-petugas klab malam), sedikit polesan make up, kaos kaki panjang, rok seragam yang cukup pendek, lengan seragam yang digulung. Sudah kebayang, kan, seperti apa mereka kalau bersekolah?

Walaupun memang ada beberapa sinetron yang mendidik, tetap saja peranan orang tua atau orang yang lebih paham tetap dibutuhkan. Sedikit banyak pergaulan dan cara hidup para remaja dipengaruhi lingkungan, salah satunya sinetron. Semoga dengan begini kita lebih bisa mawas diri, terutama terhadap anak-anak kita :)